Aku menyebut diriku
sebagai pelangi. Pelangi di musim hujan yang tak mampu terbiaskan, sebab hujan
tak kunjung turun di langitku. Di langit di mana aku berdiri dan bersembunyi di
balik awan. Alhasil, jadilah aku pelangi yang tak berwarna. Hanya mampu
menunggu, menunggu, dan menunggu suatu hari nanti ada hujan yang turun di
langitku.
Melihat bulan di langit
temaram yang dikelilingi bintang membuatku iri. Begitu menyenangkan rasanya
mewarnai hari dengan seseorang yang spesial di hati. Maka terbersit dalam angan
untuk mencari keberadaan sang hujan. Sang penyegar yang mampu membiaskan
warna-warnaku, agar tak lagi abu-abu. Namun, semakin aku mencari, semakin jauh
rasanya hujan itu pergi. Maka dari itu, lagi-lagi, aku hanya mampu menunggu.
Sampai datanglah hari ini.
Hari ini aku bersama
Toni—teman satu kamarku di Asrama Pondok Pesantren ini—ditugaskan untuk
mengganti genteng yang bocor di MTs yang masih satu atap dengan MA tempatku
menuntut ilmu. Kami bertugas mengganti genteng yang bocor di kelas putri.
Awalnya aku agak ragu, namun semuanya berhasil kutepis.
Aku berjalan di koridor
kelas santri putri itu dengan membawa beberapa genteng yang masih baru.
Sedangkan Toni membawa tangga setinggi tiga meter. Saat sampai di daun pintu
kelas yang kami tuju, aku melihat sekelompok santri putri yang tengah tertawa
lepas. Dari sekumpulan santri putri itu, kulihat seorang anak perempuan yang
melepaskan jilbabnya sehingga tergerailah rambut hitam panjangnya.
Aku menatapnya
lamat-lamat. Bak dentuman bedug dari beribu masjid yang disatukan, aku dapat
mendengar dengan jelas jantungku berdentum kencang tak karuan. Aku baru
menyadari bahwa ia teramat cantik. Dengan wajah yang natural dan rambut panjang
yang terawat, ia bagaikan bidadari yang terlahir ke Bumi. Entah mengapa, sejak
saat itu, aku merasa langitku sudah
mulai mendung. Artinya, sebentar lagi akan datang hujan yang akan membiaskan
warna-warnaku, dan aku harap dialah hujanku.
“Woy, Rian, cepetan!”
Lengkingan suara Toni tak kugubris. Aku masih saja asyik memandangi ukiran
tangan Tuhan itu, Mahakarya Tuhan yang begitu indah, wajahnya.
Berbeda denganku, mendengar
lengkingan suara Toni membuat si objek yang kupandang mengedarkan pandangan
mencari sumber suara. Saat pandangannya diedarkan ke daun pintu, ia melihatku. Menyadari
keberaan kami, ia bergegas memasang jilbab merah mudanya.
“Rian!” panggil Toni
lagi dengan suara yang dinaikkan satu oktaf. Aku langsung menuju ke arah Toni,
tak ingin mendengar suara toa enam oktafnya memasuki gendang telingaku lagi.
Lantas aku langsung meletakkan tiga buah genteng yang kubawa tadi di bangku
panjang di depan kelas tersebut, kemudian memegangi tangga yang mulai dinaiki
Toni agar tak goyang. Dari posisiku sekarang, aku masih bisa mencuri-curi
pandang ke arahnya karena masih berada di depan kelasnya.
“Rian, gentengnya!” Aku
langsung melemparkan satu buah genteng kepada Toni. Dengan cekatan, ia berhasil
menangkap genteng tersebut. Seandainya hari ini juga aku dapat menangkap hati perempuan
berjilbab merah muda itu. Aku akan menangkapnya dengan cekatan, lebih dari Toni
saat menangkap genteng. Ah, bagaimana mungkin. Bahkan aku tidak tahu apakah ia
menyukaiku atau tidak.
***
Langit
telah menggelap, cahaya bintang pun telah berpendar di sekeliling bulan. Namun,
banyang-banyangnya belum juga sirna dari pikiranku. Dia bagaikan hujan yang
tiba-tiba turun mengguyur tubuhku. Sayang, saat ini aku masih bersembunyi di
balik awan. Belum memiliki keberanian untuk jujur mengenai perasaanku. Aku
takut, sebab ada dua kemungkinan yang kudapat jika berterus terang dengannya
mengenai perasaan ini; diterima atau ditolak.
“Rian,
kamu kenapa sih, sejak kembali dari kelas santri putri melamun terus?” Toni
memecah keheningan dengan pertanyaan yang sama sekali tak ingin kujawab.
“Nggak
kenapa-kenapa! Biasa aja.”
“Jangan
bohong! Aku sudah lama kenal kamu. Aku tahu arti dari sejuta ekspresi wajahmu.
Dan hari ini aku simpulkan, bahwa ekspresimu kali ini menunjukkan bahwa kamu
sedang dilanda kegalauan.”
“Kamu
sok tahu!” Aku masih bisa mengelak. Padahal dalam hati, aku membenarkan asumsi
Toni.
“Sudah
ketahuan masih saja nggak mau ngaku! Tadi siang kamu mandangin Ratna di
kelasnya, kan? Sampai-sampai panggilanku nggak kamu gubris.” Skak mat! Toni
telah mengetahui semuanya.
“Kalau
suka langsung tembak saja, Ian!” ucapnya lagi.
Aku
melempar bantal ke arahnya. “Kamu sih gampang ngomong begitu. Tapi aku yang
jalanin. Kalau ditolak, gimana?”
“Aku
berani bertaruh, jika malam ini kamu nembak dia, malam ini pula jawaban ‘iya’
akan kamu dapatkan!” jawab Toni yakin. Terdengar begitu yakin. Lantas, apa yang
membuatnya seyakin itu.
“Tuh
kan, kamu sok tahu lagi!”
Toni
menghampiriku, ia menepuk pundakku. “Makanya jadi orang jangan terlalu fokus ke
tumpukkan buku biologi saja! Begini kan jadinya, ada cewek cantik yang naksir
malah nggak diketahui.”
Aku
belum sepenuhnya percaya dengan pernyataan Toni. Ratna, hujanku, menyukaiku?
Sejak kapan? Bagaimana bisa? Tiba-tiba saja berjuta pertanyaan menyeruak di
otakku. Namun hanya satu jawaban yang kuinginkan. Jawaban bahwa sang hujan
bersedia membiaskan pelangi agar tak lagi abu-abu.
***
Benar
saja, keesokan harinya, dengan bantuan Toni dan Sofia—teman Ratna—aku berhasil
bertemu dengannya di taman belakang sekolah. Karena kami memegang teguh ajaran
agama, maka kami pun mempersilakan Toni dan Sofia untuk bergabung, tentu dengan
jarak satu meter dari aku dan Ratna.
Di
depan Ratna, entah mengapa kata-kata yang kurangkai semalaman tak kunjung
keluar. Lidahku kelu, tubuhku seakan berada di Kutub Utara dan terserang
hipotermia, setetes keringat dingin pun mulai mengalir di pelipisku.
Ratna
yang melihatku salah tingkah begitu malah tertawa kecil. “Kakak kenapa?”
tanyanya polos. Ah, bagaimana mungkin ia tak tahu. Bukankah sudah jelas bahwa
aku sedang gugup.
“Mmm,
gini, Rat.” Aku menggaruk-garuk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. “Aduh,
gimana ngomongnya, ya?”
“Kakak
langsung ngomong aja.”
Hari
itu juga aku langsung mengutarakan semuanya pada Ratna. Memang ucapanku agak terputus-putus.
Namun tak kuduga, Ratna menjawabnya dengan tidak terputus-putus. Dengan yakin
ia menerima ajakanku itu. Benar kata Toni, Ratna telah lama menyukaiku. Hanya
saja aku yang kurang peka ini tidak mengetahui bahwa benih-benih cinta telah
lama ditanamkan Ratna kepadaku.
Sejak
hari itu. Sejak hari dimana aku berusaha jujur dengan perasaanku. Sekaligus
hari dimana Ratna menerima ajakanku untuk memulai sebuah hubungan. Aku
menemukan hujanku. Sesuai harapan, Ratna lah sang hujan yang mampu mewarnai
hari-hariku.
Hari
setelah insiden pernyataan cinta, menjadi hari yang lebih berwarna. Kini,
pelangi tak lagi abu-abu. Sebab di musim hujan tahun ini, pelangi telah
memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan melihat langit luar. Hujan
lah yang telah berhasil menarik pelangi dari balik awan, lantas hujan pula yang
telah membiaskannya hingga sempurnalah ketujuh warnanya.
Dua
minggu setelah kami menetapkan hubungan, aku mulai sering mengajak Ratna
bertemu di taman belakang. Tentu, aku tak luput membawa Toni agar tidak timbul
berita yang macam-macam. Namun, kami selalu memisahkan diri dari Toni dan
Sofia.
Bertemu dan mengobrol
dengan Ratna tak pernah membuatku bosan. Ratna terlihat semakin cantik dari
hari ke hari. Wajah natural tanpa polesan make
up membuatnya semakin terlihat cantik. Memang benar-benar seperti bidadari
yang sengaja diturunkan Tuhan ke Bumi. Betapa beruntungnya aku karena berhasil
menangkap hatinya, yang tak kuduga bisa secepat ini.
Hari-hari
berikutnya kami jalani dengan baik. Aku dan Ratna memiliki kecocokan, sehingga
setiap percakapan yang tercipta terasa mengalir dan tak ada putusnya. Bahkan
kadang Toni dan Sofia yang kerap kami mintai tolong ketika melakukan pertemuan
merasa sebal karena terlalu lama menunggu.
***
“Rian! Rian, bangun, Ian!” Toni
menggoyang-goyangkan tubuhku, membuat mimpi indahku buyar seketika. Kutepis
tangannya yang terus saja memaksaku untuk bangun. Padahal ini masih tengah
malam. Belum waktunya untuk mengakhiri tidur.
“Rian,
bangun! Ratna, Ian! Ratna!” Kudengar nama Ratna disebut membuatku langsung
membelalakan mata. Ratna, ada apa dengan hujanku.
“Ratna
kenapa, Ton?” tanyaku khawatir.
Toni
menarik tanganku. “Kita ke kamar Ratna sekarang! Sofia udah nunggu di luar.”
Aku
menuruti saja ke mana Toni membawaku. Aku kalang kabut. Yang kupikirkan hanya
Ratna. Khawatir dengan sang hujan yang telah berhasil membiaskanku itu. Kami
mengendap-endap memasuki asrama putri. Memang hal itu sangat dilarang, namun
apa boleh buat, yang terpenting saat ini hanyalah Ratna. Setelah memastikan
bahwa keadaan aman tanpa sepengetahuan siapapun, aku langsung berlari menuju
kamar Ratna.
Kulihat
wajah pucatnya dan deraian air mata yang menyebabkan mata indahnya menjadi
sembab. Ratna terlihat kesulitan untuk bernapas.
“Kak
Rian,” panggilnya setelah mengetahui keberadaanku.
Aku
langsung menghampirinya. Tiba-tiba saja napasnya kembali normal. Namun kini
napasku yang tak karuan, melihat wajahnya yang pucat memang tak memudarkan
kecantikan alaminya, namun ia terlihat lemah. Hujan yang selama ini
menyegarkanku, hujan yang terlihat kuat, kini terkulai lemah.
Ratna
menggenggam tanganku, seraya terus saja memanggil namaku, “Kak Rian,” serunya
sambil sesegukkan.
“Ratna
kamu kenapa? Kamu sakit apa? Kenapa tiba-tiba begini?” tanyaku khawatir.
Ia
kembali tersedu-sedu. Kini tak dapat mengatur napasnya kembali. Aku segera
memberinya segelas air putih di atas meja di samping tempat tidurnya.
Setelah
memastikan bahwa keadaannya sudah membaik, aku kembali menanyakan hal yang
sama, “Ratna kenapa? Jelasin sama kakak.”
Ratna
menghembuskan napas perlahan, terlihat mengumpulkan tenaga untuk sekadar
menjelaskan inti permasalahan yang membuatnya seperti ini.
“Orang
tua kita tidak merestui hubungan kita, Kak.”
Sejak
hari itu, aku merasa kembali menjadi pelangi yang tak berwarna. Pelangi abu-abu.
Pelangi tanpa warna. Ternyata selama ini langit tak mengizinkan kami untuk
bersatu. Mungkin benar yang dikatakan alam, bahwa sampai kapanpun hujan dan
pelangi takkan pernah bisa bersatu di sebuah langit yang sama, karena pelangi
hadir ketika hujan pergi. Di Bumi ini, tidak ada hujan yang dibarengi pelangi.
Pelangi hanya muncul ketika hujan telah pergi, ketiga gerimis datang dan
mengusir hujan. Mungkin aku dan Ratna tak bisa bersatu. Namun bagaimana jika
aku membuat sejarah baru, bahwa di sebuah langit yang dinaungi cinta, ada
guyuran hujan yang dihiasi pelangi.
***
Setelah
malam itu, setelah malam yang tak pernah kukehendaki untuk datang, aku tetap
mencintai Ratna. Bahkan lebih mencintainya dari sebelumnya. Segala rasa takut
kehilangan, bersarang di jiwaku. Ya, aku takut kehilangannya. Aku teramat takut
kehilangan hujan yang selama ini membiaskanku.
Namun
malam ini, dengan melupakan segala masalah yang ada, aku mengajak Ratna
bertemu. Hanya berdua. Kali ini tanpa bantuan Toni maupun Sofia.
“Kak,
aku minta maaf, Kak.” Tak kuhitung sudah berapa kali ia mengucap maaf.
“Iya,
Ratna, bukan kamu yang salah. Mungkin memang sudah takdirnya begini.”
Sebutir
air mata kembali mengalir membasahi pipinya, aku langsung menghapusnya, tak
membiarkan wajahnya melukiskan kesedihan.
“Ratna
masih sayang sama kakak. Tapi kita udah nggak bisa sama-sama lagi. Ratna minta
maaf.”
Mendengar
kalimat itu membuat dadaku terasa sesak. Rasanya tidak ada yang paling
menyakitkan di dunia ini selain menerima kenyataan bahwa cinta kami tidak
direstui.
Kami
menghabiskan malam itu dengan menangis bersama, tertawa bersama, tersenyum
bersama di bawah langit temaram dengan jutaan bintang yang menghiasi bulan. Aku
sangat iri dengan bulan. Yang setiap malam dikelilingi bintang yang berkerlap-kerlip.
Seandainya aku bisa seperti bulan, tak mengapa bagiku hanya disinari satu
bintang saja, yaitu Ratna.
Malam
itu, hanya untuk malam itu saja. Aku dapat merasakan kembali bahwa Ratna masih
milikku. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tak kupedulikan seberapa sembab
mataku, seberapa banyak celotehan yang kudapat jikalau nanti ada yang melihat
mataku yang sembab ini. Bahkan aku dan Ratna tak nampak was-was ketika salah
satu ustadz kami di Pondok Pesanteren melewati kami. Namun untung saja ia tak
melihat keberadaanku dan Ratna.
***
Ternyata
langit benar-benar mengambil tindakan. Ia menyeret sang hujan menjauhi pelangi,
seakan tak bersedia jika guyurannya membiaskan pelangi. Maka pelangi hanya
mampu berdiri sendiri di langit mendung, tanpa hujan yang membiaskannya seperti
dahulu. Sungguh akhir dari musim hujan yang sangat menyedihkan. Pelangi kembali
abu-abu.
Hari
ini aku mendapat kabar mengenai kepindahan Ratna. Tak kusangka ternyata orang
tuanya benar-benar tak menyetujui hubungan kami. Padahal aku belum mengucapkan
selamat tinggal kepada Ratna. Sebelum hari ini, memang Ratna sudah menyatakan
untuk mengakhiri hubungan dengan jutaan kata maaf yang ia lontarkan. Aku
menerima saja walau sebenarnya tidak ikhlas sama sekali. Namun, apa boleh buat.
Setelah
kepindahan Ratna, aku kembali dirundung sepi. Tak ada niatan untuk mencari
seseorang yang baru yang dapat menggantikan posisi Ratna. Karena selamanya,
pelangi akan mencintai hujan. Meski nantintya harus menelan kekecewaan jikalau
suatu hari nanti melihat hujan menari di langit yang tertutupi awan bersama
mendung.
Sejak
saat itu, aku berusaha menjadi aku yang dulu. Yang hanya terfokus dengan
tumpukan buku pelajaran yang sebagian besar dibenci siswa lainnya. Aku
melampiaskan kegalauan yang menyerang dengan belajar seharian. Ya, memang
semestinya begitu. Daripada terus-terusan mengharapkan apa yang seharusnya
tidak diharapkan. Walau sebenarnya hati berkata lain. Hati masih mengharapkan
Ratna, namun kenyataan menentang itu semua.
Suatu
hari ketika kerinduanku terhadap Ratna memuncak, aku mencoba menemuinya di
kediamannya. Namun, nihil, satu jam aku berdiri mondar-mandir tak karuan di
depan gerbangnya, satu jam pula harus kutelan kekecewaan. Ratna tak kunjung
keluar. Bahkan sekadar wajahnya pun tak terlihat. Aku sungguh merindukannya.
***
Jauh
hari setelah itu, setelah kelulusanku, aku memutuskan untuk merantau ke desa
seberang. Sekaligus untuk menghilangkan bayang-bayang Ratna yang masih memenuhi
kalbuku.
Beberapa
bulan di sana, pelangi bertemu matahari. Matahari yang ternyata selama ini ikut
andil membiaskan pelangi. Sayang, selama ini pelangi tak tahu bahwa sebenarnya
bukan hanya hujan yang ia butuhkan agar mampu terbias sempurna. Namun juga
membutuhkan percikan sinar matahari untuk menyempurnakan ketujuh warnanya.
Dialah
Sofia, teman Ratna. Dia adalah matahari yang selama ini menyinariku tanpa
sepengetahuanku. Akhirnya kuputuskan untuk menyerah dengan hubunganku dengan
Ratna. Walau dahulu aku berharap kisahku dengan Ratna bisa seperti Kisah Romeo
dan Juliet yang ditulis Shakespeare dalam drama tragedinya. Namun harus
kuyakinkan bahwa kami bukan Romeo dan Juliet yang rela mati demi bisa bersama.
Aku
akan kembali menjadi pelangi di musim panas yang telah mendapatkan matahari
yang menyinariku. Tak mengapa jika warna-warnaku redup lantaran tak terkena
percikan hujan. Karena mulai saat ini, aku akan menjadi pelangi di musim panas
yang berdiri tegak disinari kasih tulus matahari.
***
Based on true story of my tutor
Mr. Rian, this is for you!
Thank you for the idea, so I can finished to wrote your story. I hope you like it!
And, I hope you find the girl who better than your ex ^^
Fighting and keep spirit to finish your study!
Mr. Rian, this is for you!
Thank you for the idea, so I can finished to wrote your story. I hope you like it!
And, I hope you find the girl who better than your ex ^^
Fighting and keep spirit to finish your study!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar