Pukul setengah lima sebelum fajar
menyingsing, kulihat mama di ruang kerjanya sudah bergelut dengan tumpukkan
kertas di hadapan laptop bermerek apple
keluaran terbaru. Biasanya ayah tiriku menempati meja di samping meja kerja
mama untuk sama-sama menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Tapi
kebetulan ayah sedang bertugas di luar kota sehingga mama hanya seorang diri di
ruangan itu bersama tumpukan kertas dan seperangkat alat elektronik. Memang dua
orang yang gila bekerja.
“Ma,
bukannya mama harus ke gereja hari ini?” Aku menghampiri mama ke ruang kerjanya
untuk memberikan secangkir teh hangat, berharap dapat menyegarkan otaknya yang
selalu dipaksa untuk bekerja.
Mama
langsung menyeruput teh tersebut. “Mama sedang sibuk, sayang. Mungkin di lain
waktu.” Selalu dengan jawaban yang sama dan dengan ekspresi yang sama; tanpa
mengalihkan pandangan dari kertas di hadapannya. Mama seperti tidak berminat
menjawab pertanyaanku. Seakan-akan tumpukan kertas tersebut jauh lebih
menggairahkan.
***
Aku yang tersesat di
persimpangan. Bukan simpang tiga maupun empat. Namun berjuta simpangan yang
harus kulalui satu persatu untuk mencari keberadaan seberkas cahaya yang selama
ini hilang dari jiwaku. Aku yang tersesat di persimpangan. Di antara jutaan
jalan berkelok yang tak kuketahui ujungnya. Tak satupun peta—bahkan atlas—yang
dapat menunjukkanku jalan mana yang dapat kulalui. Maka aku hanya akan terus
mencari, mencari, dan mencari sebisaku, hingga aku yang tersesat ini dapat
segera menemui seberkas cahaya itu.
Terngiang
kembali di telingaku percakapan dengan kakak tiriku satu tahun yang lalu.
Percakapan yang telah membawaku ke tengah-tengah persimpangan ini, hingga aku
benar-benar tersesat dan kehilangan seberkas cahaya itu.
Minggu
pagi setahun yang lalu, kakak tiriku mengajakku bertemu di sebuah rumah makan.
Sebelumnya kami memang sudah saling mengenal dan cukup dekat, meskipun pada
saat itu aku masih tinggal bersama papa. Kak Glenn sering mengajakku ke luar
untuk sekadar makan dan jalan-jalan. Kami sudah seperti kakak dan adik kandung.
“Sarah, kamu percaya
akan adanya Tuhan?” tanyanya tiba-tiba.
Sontak kutahan tawaku,
dan tanpa pikir panjang kujawab, “Iya jelas percaya. Memangnya siapa yang menciptakan
dunia ini beserta asetnya kalau bukan Tuhan?”
Ia mengerutkan kening,
“Kamu percaya?”
Aku menangguk mantab.
Kak Glenn menopang
dagunya sambil menggelengkan kepala—terlihat tak sependapat denganku. “Aku
tidak percaya.”
“Kenapa begitu?” Aku
tak langsung percaya dengan pengakuan Kak Glenn. Bagaimana tidak, aku
melihatnya sebagai seorang Buddhis yang sangat kental dengan ajaran agama.
Lantas, apa yang mendasarinya menyatakan dirinya sebagai sosok yang tidak
memercayai adanya Tuhan?
“Aku berpikir bahwa di
dunia ini tidak ada Tuhan!”
Ah, pasti Kak Glenn
bercanda, pikirku.
Kak Glenn memerhatikan
raut wajah bingungku. Ia yang mengerti, hanya diam, memberikanku waktu
berpikir. Setelah berpikir cukup keras, aku menarik kesimpulan
bahwa—mungkin—Kak Glenn telah memilih jalan hidup menjadi seorang ateis. Aku
sedikit tau tentang ateis. Dan kuharap kesimpulanku itu salah.
“Aku ateis,” ucapnya
sambil tersenyum ke arahku seakan tahu isi pikiranku. Ah, baru saja aku ingin
mengungkapkannya—hasil pikiran yang kurangkai beberapa detik yang lalu.
“Begini.” Ia merapikan
tempat duduk. “Mamamu dan ayahku menikah di atas perbedaan. Mamamu muslim dan
memilih pindah agama sesuai Agama Kristen yang dianut ayahku. Dan kamu tetap
memilih menjadi seorang muslim. Mengapa?”
Dengan bangga kujawab,
“Aku percaya dengan agama dan Tuhanku.”
Kak Glenn tertawa
kecil. “Semua orang yang beragama pasti akan menjawab seperti itu. Maksudku,
mengapa kamu lebih memilih islam ketika mamamu saja pindah agama. Kenapa kamu
tidak mengikuti jejak mamamu saja?”
Aku lebih memilih diam.
Memang, aku mengikuti papa untuk tetap menjadi muslim, namun kurasa bukan itu
alasan terbesarnya. Lantas, mungkin karena seseorang—
“Kamu tahu, sejak kecil
aku hidup dalam dua agama yang berbeda. Ayah pemeluk agama Kristen, dan ibuku
pemeluk agama Buddha. Aku tidak tahu harus mengikuti jejak siapa. Pada akhirnya
ketika usia delapan tahun, ibu memintaku menjadi seorang Buddhis agar adil.
Sebab kakakku—kini tinggal bersama ibu—telah menjadi umat kristiani seperti
ayah. Aku pun heran dengan pembagian anak versi mereka. Mengapa aku harus
tinggal bersama ayah yang memeluk agama berbeda. Dan mengapa juga kakakku
memilih tinggal bersama ibu yang beragama beda pula.” Kak Glenn tertawa pahit.
“Kamu bisa bayangkan, bagaimana rasanya hidup seperti itu? Satu keluarga, namun
berbeda keyakinan. Ibadah tak bisa bersama, tempat suci berbeda, apakah Tuhan
kami pun berbeda?”
Baru pertama kali
kulihat raut wajah itu. Kak Glenn yang selalu ceria—bahkan aku sempat
menyangsikan apakah ia pernah bersedih—kini terlihat sangat murung. Tatapan
kosongnya melukiskan kekosongan jiwanya.
Kak Glenn menunduk.
“Jika saat ini aku masih menjadi seorang Buddhis, bagaimana aku bisa hidup
dengan ayah dan mamamu yang menganut Agama Kristen? Aku tak bisa
membayangkannya. Maka dari itu, aku memutuskan menjadi seorang ateis. Aku sudah
muak dengan embel-embel agama yang dianut orang-orang.” Kak Glenn mengeluarkan
sekotak rokok dari tasnya. “Kamu sudah melihat, kan, mereka beragama, namun
seperti tidak beragama.”
“Mereka?” tanyaku
memastikan.
“Ya, mamamu dan ayahku!
Mereka beragama, namun seperti tak memiliki agama. Sebab agama dijadikan bak
permainan. Kulihat hati mereka belum tergerak untuk menunaikan ibadah rutin
mereka. Lalu apa bedanya umat beragama dengan kami para ateis yang tidak
memercayai campur tangan Tuhan?”
Aku hanya garuk-garuk
kepala, sebab kutahu pengetahuanku mengenai agama tak begitu luas. Aku takut
salah memberi pendapat atau sanggahan. Logika Kak Glenn cukup kuat untuk itu.
Bahkan lebih dari kuat untuk membungkam mulutku.
Ia
kembali menatapku, “Kamu beruntung hidup dalam keluarga dengan kepercayaan
sama, hingga kamu bisa merasakan indahnya beragama.” Ia kembali tersenyum
pahit. “Tapi kamu lihat, kan, sekarang. Mamamu menikah dengan ayahku, lalu
melepas begitu saja agama yang dianut sebelumnya, persis seperti melepas papamu
dan menceraikannya. Di saat-saat seperti itu, aku melihat agama seperti
dijadikan sebuah permainan. Lucu sekali, bukan?”
Entah mengapa, sejak saat itu aku
mulai melangkah jauh meninggalkan seberkas cahaya itu, ialah agama, yang selama
ini tertanam di jiwaku. Aku setuju dengan pola pikir Kak Glenn. Sebab aku
termasuk orang yang cepat terpengaruh.
Sejurus kemudian, kubuka mataku setelah memejamkannya beberapa detik.
Setelah membuka mata, kudapati diriku tengah berada di ratusan, jutaan,
miliaran, bahkan triliunan simpangan yang tak terhingga jumlahnya. Kala itu aku
memilih diam di tengah-tengah, dan menyaksikan orang-orang yang lalu lalang ke
masing-masing persimpangan itu. Aku memilih diam, sebab kupikir di tengah lebih
aman. Memasuki persimpangan itu belum pasti akan berujung pada keselamatan,
pikirku.
Hingga aku kembali ke kota ini
beberapa minggu yang lalu.
***
Menjelang masuk SMA, aku yang kala
itu tengah tersesat di persimpangan, bertemu kembali dengan Fahri, si penunjuk
jalanku. Kami bersekolah di tempat yang sama. Kesibukannya memaksa papa untuk
mengikhlaskanku tinggal bersama mama pada awal SMA ini. Papa kerap kali
meninggalkanku seorang diri di rumah bersama pembantu rumah tangga, karena pada
tahun-tahun ini jadwalnya ke luar negeri sangat banyak.
Pada pertemuan pertamaku dengan Fahri setelah berpisah selama tiga
tahun, ia bercerita betapa banyak pelajaran yang ia dapat setelah berpisah
denganku. Ia menceritakanku tentang bermacam keajaiban yang Allah berikan
padanya hingga menguatkan imannya. Fahri pun bercerita, di SMA nanti ia akan
bergabung dengan Klub Rohis dan akan mencalonkan diri menjadi ketua.
Setelah pertemuanku dengan Fahri, menyeruaklah di dalam dadaku untuk
mencari kembali cahaya yang telah hilang dari jiwaku. Di sisi lain, pola
pikir Kak Glenn telah memengaruhiku.
Walaupun simpangan itu
satu persatu kulewati, belum juga kutemui seberkas cahaya yang kucari. Sempat
terpikirkan olehku untuk menyudahi pencarian ini, namun rasa penasaranku yang
tinggi membuatku tetap melakukannya.
Aku
muslim, entah aku masih termasuk golongan umat muslim apa tidak. Sebab sempat
aku tak percaya akan adanya Tuhan. Ateis? Aku tidak ateis, sebab aku masih
beribadah.
Setiap
hari aku tak pernah melewatkan solat lima waktu. Membaca Al-Qur’an ketika ada
kesempatan. Rutin membaca Yasin setiap Jumat Pagi di sekolah. Semua kulakukan,
sampai-sampai akupun beribadah menurut agama lain juga. Setiap Minggu pagi, aku
rutin ke gereja yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggalku untuk
mengikuti peribadatan umat kristiani. Kemudian setiap ada acara besar umat
Hindu dan Buddha, aku tak pernah absen untuk turut serta. Itu semua kulakukan
untuk mencari kebenaran akan adanya Tuhan. Tentu saja aku mengikuti peribatan
dan acara besar itu secara diam-diam dan berusaha berpenampilan yang tak
seperti biasanya agar tidak dikenali. Namun semakin aku mencari, semakin banyak
simpangan yang mengitariku.
Ingin rasanya kuceritakan pada Fahri mengenai
diriku yang tengah tersesat di persimpangan ini. Namun tak kuat rasanya
mengecewakan hati seseorang yang telah berkorban banyak untukku selama ini. Ia
pula yang mengajariku mengaji ketika papa dan mama saja tidak begitu peduli
dengan rohaniku—karena terfokus dengan pekerjaan mereka. Menceritakanku tentang
kisah Nabi dan Rasul yang dikaguminya. Ah, mengingat itu semua membuat dadaku
terasa sesak.
“Ahad
besok belajar bareng, yuk.” Setelah memesan dua mangkok bakso dan dua botol es
teh, Fahri menghampiriku di meja kantin.
“Boleh.
Sore, ya!” ucapku sembari meniup uap yang mengepul di atas mangkok baksoku.
“Kalau
sore, aku ada acara kumpul bareng teman-teman SMP. Bagaimana kalau pagi saja?”
tawarnya.
Minggu
Pagi merupakan jadwalku untuk ke gereja mengikuti peribadatan rutin umat
Kristiani di daerahku. Tentu saja aku menolaknya. Kemudian kulihat raut wajah
menyelidik Fahri.
“Kamu
kenapa, sih, setiap kuminta waktumu di Minggu Pagi, pasti kamu selalu menolak.”
“Bukan
apa-apa,” jawabku.
Fahri
terlihat belum puas dengan jawabanku, “Kalau bukan apa-apa, kenapa rutin
sekali? Kamu sudah dua bulan di sini. Dan selama itu pula kamu selalu menolak
setiap aku meminta waktumu pada Minggu Pagi.” Fahri menelengkan kepala. “Ah,
ada yang tidak kamu ceritakan ke aku, ya?”
“Tidak!
Tidak mungkin. Kamu, kan, sahabatku. Mana mungkin ada yang tidak kuceritakan ke
kamu,” jawabku, sedikit gugup.
“Kuharap
begitu.” Jawabnya.
Kulihat
keraguan di wajahnya. Ada rasa yang bergejolak di hatiku, yang menarikku untuk
segera menceritakan diriku yang tengah tersesat ini kepada Fahri. Aku yakin,
dia pasti punya solusi. Tapi aku takut. Entah ketakutan apa yang menjalar
selama ini.
“Fahri,
bagaimana menurutmu mengenai kaum ateis?” Spontan, refleks, tanpa pikir
panjang. Ah, aku menyesali pertanyaanku. Namun aku hanya mencoba
memancing-mancing. Siapa tahu dengan menanyakan hal ini aku bisa segera jujur
dengan Fahri.
Fahri
terlihat sedikit kaget. “Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?”
“Aku
hanya bertanya,” jawabku. “Untuk menguji pengetahuanmu tentang agama,” lanjutku
sambil tertawa jahil, agar Fahri tidak curiga.
“Setauku,
ateis berasal dari Bahasa Yunani yaitu ‘alpha’
yang berarti tidak ada. Dan ‘Theos’
yang berarti Tuhan. Maka digabungkanlah dua kata itu menjadi ‘Atheos’ yang berarti tidak ada Tuhan.”
Aku
menyela ucapannya, “Fahri, aku tidak menanyakan sejarahnya. Yang kutanyakan
bagaimana pandanganmu terhadap ateis?” Fahri selalu begini, ia suka
membicarakan sesuatu secara panjang lebar, tidak langsung ke intinya.
“Tadi
kamu bilang ingin menguji pengetahuanku,” elaknya. Aku tahu, ia pasti ingin
menunjukkan padaku mengenai pengetahuannya yang luas. Walaupun aku
mengaguminya, tidak serta merta semua sifatnya kusukai. Aku kadang sebal jika
‘penyakit’ sombongnya mulai mucul.
Aku
menatapnya sebal, “Tidak usah banyak komentar, kamu paparkan saja pandanganmu
mengenai ateis. Langsung ke intinya. Bisa seharian aku nungguin kamu cerita
kalau kamu memaparkan dulu mengenai sejarah, asal mula, dan yang lainnya.”
“Baiklah.
Menurutku, pola pikir ateis itu seperti ini, ‘angkat tanganmu dan panjatkanlah
doa kepada Tuhanmu dan mintalah kepada-Nya untuk mendatangkanmu segelas air.
Jika air itu langsung ada di hadapanmu, baru saya akan langsung percaya akan
adanya Tuhan.’ Begitulah nalar dan pola pikir ateis, menurutku,” jelas Fahri.
Belum cukup jelas, pikirku.
“Iya,
benar juga, sih.”
Fahri
menelengkan kepala. “Maksudmu ‘benar’ itu apa? Kamu juga merasakannya?”
“Ah,
tidak. Aku ... Aku ... Aku, hanya membenarkan.” Ah, aku menjawab dengan terbata-bata.
Semoga Fahri tidak curiga.
Fahri
mengangguk-anggukkan kepala, ia kemudian memperbaiki posisi duduknya. “Kaum
ateis tidak memercayai segala sesuatu yang tidak tampak dan mustahil menurut
mereka. Bahkan mungkin saja kaum ateis zaman dahulu tidak memercayai akan
lahirnya teknologi yang memungkinkan mereka dan orang-orang di luar negeri
dapat berkomunikasi dengan alat komunikasi yang bernama telepon. Sebab mereka
mengutamakan logikanya untuk berpikir. Sementara kita tidak bisa hanya berpikir
dengan logika. Dibutuhkanlah juga perasaan. Benar, kan?”
Aku
mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi menurutmu, menjadi kaum ateis itu pilihan
yang salah?”
“Tentu
saja!” jawabnya mantab. “Jika terdapat kaum ateis di Indonesia, maka ia
haruslah di usir dari negeri ini. Sebab dalam urusan agama, HAM tidak
dilibatkan. Bukankah kewajiban beragama juga sudah dicantumkan dalam sila
pertama dari Pancasila?”
Namun,
aku yang masih tersesat di persimpangan ini belum juga puas dengan jawaban itu.
Ada yang masih menjanggal di benakku. “Lantas bagaimana dengan keberadaan
Tuhan? Di dunia ini, kan, ada banyak agama dan kepercayaan. Masing-masing agama
memercayai Tuhan mereka masing-masing dan menyembahnya dengan cara yang berb
...”
Tiba-tiba
Fahri memotong pembicaraanku, “Kamu tidak perlu menyembunyikannya lagi. Aku
sudah tahu,” ucapnya dengan suara lemah, sambil mengacak-acak rambutnya.
Terlihat kesedihan di matanya.
“Mari
ke gereja besok pagi. Lalu setelahnya ke Pura. Keesokan harinya ke
Wihara—tempat peribadatan uman Buddha. Dan lusa ke Kelenteng—tempat peribadatan
umat Konghucu. Aku akan membantumu mencari seberkas cahaya yang entah sejak
kapan hilang dari jiwamu. Mari, aku akan membantumu!”
Skakmat!
Satu hal yang belum kusebutkan, bahwa Fahri adalah sosok pengamat yang handal.
Ia dapat dengan cepat mengetahui perasaan dan keanehan yang terjadi pada
seseorang dengan hanya melihat raut wajah dan tingkah lakunya. Fahri bahkan
tidak segan-segan memata-matai subjek yang ia curigai. Dan aku melupakan satu
hal itu. Ah, ingin rasanya aku menghilang dari hadapan Fahri sekarang juga. Aku
tertangkap basah berbohong di depan Fahri, itu sangat memalukan. Dengan sifat
yang mudah penasaran, tentu saja Fahri sudah mencari tahu perubahanku ini.
Kupastikan pula ia pernah membuntutiku ke gereja maupun ke pura beberapa minggu
ini.
Aku tahu Fahri kecewa.
Aku tahu itu. Maka aku hanya dapat menunduk dalam-dalam, menyesali diriku yang
telah membiarkan seberkas cahaya itu pergi begitu saja. Namun beruntung aku
masih memiliki Fahri di sampingku. Dengan kejadian ini, aku dapat merasakan
seberkas cahaya itu mulai mendekat ke arahku. Dan Fahri orang yang telah
menariknya kembali perlahan-lahan memasuki sukmaku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar