REGEN
P.O.V
***
“Nama
lengkapnya Pelangi Prameswari. Dia lahir tanggal 17 Agustus. Anaknya pendiam
gitu tapi bisa jadi cerewet kalo udah kumpul bareng temen-temennya. Dia juga
agak jutek sih, tapi baik kok,” jelas Riko. “Ah iya, dia tinggal di Villa
Raflesia nomor 7. Rumahnya yang cat hijau toska. Gerbangnya warna hitam. Nah,
ruangan yang di lantai dua yang menghadap ke barat kan ada tiga ruangan,
kamarnya si Pelangi yang gordennya warna biru safir,” sambungnya.
Kini
kami berada di sudut kantin. Lebih tepatnya, dia bangku nomor dua puluh satu—bangku
paling pojok.
Aku
menganga heran, mendengar Riko yang menjabarkan tentang rumah dan letak kamar
Pelangi dengan begitu detail.
“Lo
pembantunya apa tukang kebunnya, sih? Kok sampe hapal gitu letak kamar orang
segala!”
Riko
mendekatkan bibirnya ke telingaku. Aku sempat bergidik ngeri. Kemudian ia
membisikan sesuatu, “Gue pernah suka sama dia,” katanya dan berhasil membuatku
terdiam sejenak.
Riko
menepuk pundakku. “Tenang aja, bro! Itu dulu, sebelum cinta gue ditolak
mentah-mentah.”
Aku
membekap mulut, tak tahan menembakkan tawa. Namun aku segera menahannya sekuat
mungkin agar tawaku tidak meledak. Aku harus menjaga perasaan Riko.
“Kok
bisa?” tanyaku polos.
Riko
mengembuskan napas. “Hatinya udah terkunci, sih. Bahkan kuncinya hilang. Kalau ada
yang berhasil nemuin tu kunci, baru deh hatinya bisa kebuka untuk si penemu
kunci itu,” kata Riko. Ia kembali menatapku dengan seulas senyum. “Tapi
sekarang gue udah move-on, dong! Bukan
Riko namanya kalau hanya menyerah dengan satu perempuan!” katanya lagi sambil
mengeluarkan tawa percaya dirinya yang sengaja dibuat-buat se-cool mungkin.
Aku
mencerna kata-kata Riko. Namun aku sulit mencernanya. Mencerna maksud dari; hatinya
sudah terkunci dan kuncinya hilang?
Riko
kembali menyantap bakso di depannya dengan lahap. Sedangkan aku hanya menatap
lurus seorang gadis yang sedang menyeruput jus jeruk di hadapannya. Ia bercerita
sambil sesekali memakan nasi gorengnya. Meski aku tak tahu apa yang sedang ia
bicarakan dengan dua orang temannya, aku dapat melihat dari ekspresinya bahwa
mereka sedang membahas sesuatu yang lucu—tersenyum dan tertawa seperti sedang
menonton acara komedi.
“Nah
kalo yang dua orang itu sahabatnya Pelangi. Yang cewek itu namanya Gista,
rumahnya di depan rumah Pelangi, mereka udah sahabatan sejak baru lahir. Kalau yang
cowok itu sepupunya Pelangi, namanya Kelvin. Si Kelvin itu sepupunya Pelangi
dari luar kota. Baru aja pindah ke sini sejak lulus SMP. Nah, mereka bertiga
ini deket banget. Saking deketnya, ke mana-mana pasti bareng-bareng,” jelas
Riko lagi.
Aku tak terlalu memerdulikan penjelasan Riko
barusan. Aku masih mencoba mencerna kata-kata Riko sebelum ini mengenai hati
Pelangi yang sudah terkunci.
Tiba-tiba
saja Riko menatapku serius. “Eh, Reg, ngomong-ngomong ... lo suka sama Pelangi,
ya?” tanya Riko serius. Sangat serius, sehingga tak dapat kupercaya yang baru
saja bertanya ini adalah Riko—anak laki-laki bandel yang tidak pernah bisa
berbicara serius.
“Entahlah,” jawabku dengan tetap
fokus menatapnya dari posisiku sekarang.
“Alaaah,
itu mah udah jelas suka namanya!” tegas Riko.
“Kagak
tau deh, Ko!”
Riko
mengangkat mangkuk baksonya, kemudian menyeruput sisa kuahnya dengan bakso,
mie, dan sayur yang sudah tak tersisa. Kemudian ia melirik mangkuk baksoku yang
masih padat dengan bakso dan segala isinya.
“Reg,
kasian tu bakso lo dianggurin mulu! Gue maklum kok, kalau seseorang sedang
terserang virus merah jambu, maka ia akan tak nafsu untuk berlaku apapun. Termasuk
makan,” katanya sok bijak.
“Dasar
modus lo! Kalo mau minta bakso, ya terang-terangan aja mintanya nggak pake
kode-kodean!”
“Kan
biar kekinian, Reg. Pake kode-kodean gitu,” ucap Riko.
Langsung
saja kusodorkan mangkuk baksoku padanya. Tak perlu menunggu lama dan menjaga image, Riko langsung menyantap, satu
demi satu; helai demi helai; dan mili liter demi mili liter, semangkuk mantan
baksoku beserta isinya.
“Ko,
lo nggak dikasi makan berapa tahun sih sama orang tua lo sampe segitunya
banget?” tanyaku takjub melihat Riko yang melahap rakus semangkuk bakso
tersebut seperti kuli yang baru saja bekerja berjam-jam.
Riko,
yang tak memerdulikan ucapanku tadi, hanya terfokus pada semangkuk bakso
tersebut. Dan aku kembali melirik Pelangi di ujung sana. Ia masih bercanda tawa
dengan kedua sahabatnya—Gista dan Kelvin—dengan tawa yang masih saja sesekali
meledak di antara mereka bertiga. Kulihat tawanya seakan tanpa beban,
kecantikannya semakin terpancar.
Aku
melirik kembali Riko di sampingku. Tiba-tiba saja ia meminum rakus es tehnya
sambil menelan paksa bakso yang sedang dikunyahnya. “Itu orangnya!” pekiknya
dengan suara rendah.
Aku
menatap Riko penuh tanya. “Orangnya? Siapa?”
Riko
kembali menunjuk seorang anak laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit hitam manis
yang sedang memegangi basket sambil sesekali menyeka keringat yang mengalir di
pelipisnya. Baju olahraganya sudah basah terkena peluh. Namun hal tersebut
tidak mengurangi kekaguman siswa perempuan yang ada di kantin. Hal itu terlihat
jelas dari cara mereka memandanginya dan berbisik-bisik tentangnya. Sepertinya anak
laki-laki itu cukup populer di sekolah ini.
“Dia
Fajar,” kata Riko sambil menunjuk anak laki-laki itu yang baru saja menduduki
bangku nomor tigabelas. “Dia cowok terpopuler di sekolah ini. Ketua OSIS sekaligus
kapten basket sekolah ini.”
“Lalu?”
Aku menunggu penjelasan dari Riko mengenai dirinya yang heboh menyambut
kehadiran si Fajar tersebut.
“Dia
itu ... cowok yang telah menggembok hati Pelangi!”
JLEBB!
Cowok yang telah
menggembok hati Pelangi?
Aku
mulai dapat mencerna kata-kata Riko yang belum dapat kucerna tadi. Kini,
kuketahui mengenai hati Pelangi yang sudah terkunci dan mengenai kuncinya yang
telah hilang. Ternyata si Fajar-lah orang telah menggemboknya dan membuang begitu
saja kuncinya agar tak ada yang dapat memasuki hati Pelangi.
Dan
entah karena apa, aku merasa iri dengan anak laki-laki itu. Bukan karena ia
adalah cowok terpopuler dan dikagumi banyak perempuan. Tapi karena salah satu
pengagumnya itu adalah Pelangiku—Meine Regenbogen.
Aku
tak dapat membohongi diriku sendiri bahwa aku memang cemburu. Pun tak dapat
lagi mengelak kata-kata Riko mengenai aku yang tengah terserang virus merah
jambu.
*** [BERSAMBUNG] ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar