REGEN
P.O.V
Aku duduk tepat di
belakang posisinya berdiri. Aku memerhatikannya dari posisiku sekarang. Ia yang
merasa diperhatikan menjadi salah tingkah. Hal itu terlihat jelas dari gerak
tubuhnya; menatap tali sepatu yang sejatinya tak mampu bergerak sendiri,
memukul-mukul lantai dengan ujung kaki yang dilapisi sepatu, dan sesekali
mengembuskan napas. Tingkah lakunya sekarang sangat jauh berbeda dari saat
sebelum aku menuju halte ini. Mungkin ia risih, pikirku. Atau ia adalah gadis
pemalu yang tidak mudah bergaul dengan orang yang baru dikenal. Intinya, aku
mulai dapat membaca sedikit demi sedikit karakternya.
Tiba-tiba saja sebuah
ide mampir ke otakku. Aku menghampirinya dan berdiri di sampingnya. Ingin
membuktikan bahwa argumenku benar; aku menatapnya dalam diam. Aku tahu kalau ia
menyadari keberadaanku di sampingnya, namun kembali ke opiniku sebelumnya—bahwa
ia adalah gadis pemalu yang tidak mudah bergaul dengan orang baru—ia pura-pura
tidak mengetahuinya. Bahkan ia tak menoleh ke arahku barang 30 derajat pun.
Aku mengulurkan tangan
ke arahnya. “Aku Regen.”
Gadis
itu menoleh sambil menampilkan wajah bingungnya yang menurutku sangat lucu. Ia
menatap tanganku yang sudah kuulurkan ke arahnya. Tanpa kusangka, ia membalas
uluran tanganku. “Aku Pelangi,” jawabnya kemudian langsung melepaskan tangan
lembutnya dari genggamanku.
DEG!
Pelangi
...
Aku menatapnya tepat di
kedua bola matanya. Aku menyunggingkan senyum ke arahnya. Senyum tertulus yang
pernah tercipta di wajahku.
Pelangi ...
Nama itu mengingatkanku
pada dongeng masa lalu yang selalu diceritakan mama kepadaku sebelum tidur.
Dongeng yang selalu kuharapkan kebenarannya. Dongeng masa lalu yang berusaha kuwujudkan.
“Meine Regenbogen,”
ucapku spontan. Kata-kata itu mengalir begitu saja.
Aku tiba-tiba saja
berucap begitu kepadanya. Kusadarkan diriku secepatnya dari bayang-bayang
dongeng masa lalu itu.
“Meine Regenbogen?
Artinya?” tanyanya bingung.
Pelangiku, ucapku dalam
hati.
“Mmm, aku cuma ...” Belum
sempat kujawab pertanyaannya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan kami.
Sang empunya—seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahun—membuka kaca
mobil.
“Pelangi,” panggilnya.
Dari ukiran wajah
wanita itu, dapat kutebak bahwa ia adalah ibu Pelangi. Ibu Pelangi keluar dari
mobil sambil berlindung di bawah payung. Pelangi menyambutnya dengan senyuman.
“Paman Rinto mana, Ma?
Tumben Mama yang jemput aku,” tanya Pelangi.
“Paman Rinto lagi
benerin atap garasi yang bocor, jadi nggak bisa jemput,” terang mama Pelangi. Aku
hanya menyaksikan ibu dan anak tersebut. Menyadari keberadaanku, mama Pelangi
menyunggingkan senyum ke arahku. Senyum yang sama persis dari senyuman milik
Pelangi. Kini aku tahu dari mana senyuman tersebut menurun.
“Adik ini temannya
Pelangi, ya,” tanya mama Pelangi kepadaku.
Aku membalasnya dengan
senyuman. “Iya, Tante. Saya Regen,” kataku memperkenalkan diri.
“Rumah kamu di mana? Mau
sekalian Tante anterin?” tawarnya.
Aku melirik Pelangi
sekilas. Ia hanya mengedikkan bahu, memberi tanda bahwa jawabannya diserahkan
padaku.
“Nggak usah repot-repot,
Tante. Jemputan saya sebentar lagi datang, kok,” elakku. Sebenarnya aku ingin. Sangat-sangat
ingin berada lebih lama bersama Pelangi. Namun aku hanya merasa tidak enak
saja. Aku dan Pelangi saja baru bertemu dua kali.
“Ya sudah kalau begitu.
Tante dan Pelangi duluan, ya.”
Sebelum benar-benar
meninggalkanku, aku melihat Pelangi menyunggingkan seulas senyuman. Senyuman tertulus
darinya yang pernah kudapatkan.
Seketika, kurasa hujan
semakin menusuk kulitku. Aku membeku. Senyuman itu seolah memiliki sihir yang
dapat membekukanku dalam sekejap.
Entah inikah namanya
cinta pada pandangan pertama. Namun aku belum berani menyimpulkannya.
***
Sudah
tengah malam, namun aku masih memikirkan Gadis Pecinta Hujan itu. Dia begitu
mirip dengan gadis dalam dongeng yang pernah diceritakan ibu kepadaku. Sangat amat
mirip. Bahkan caranya menikmati dentuman melodi hujan siang tadi. Juga caranya
merasakan tetes demi tetes hujan yang turun.
PLAK!
“Aww ...”
“Kamu pikir untuk siapa aku bekerja
hingga larut malam seperti ini kalau bukan untuk kamu dan Regen!”
“Kamu bilang bekerja? Bekerja apanya
hingga larut begini? Bekerja untuk merayu pelac*r itu?”
PLAKK!
Lagi-lagi
kudengar noktuno yang selalu mengusik pendengaranku. Pertengkaran kedua orang
tuaku. Tak terasa air mata kepedihan itu kembali menetes di pipiku. Aku benci
menangis. Namun, tak ada cara lain yang bisa kuperbuat selain itu.
Segera
kuputar musik rock di ponselku sekeras mungkin. Kemudian kutempelkan headphone putihku setepat mungkin di
telingaku. Berharap nyanyian malam itu tak terdengar lagi dengan cara begini.
Nokturno.
Nyanyian malam yang selalu kudengar hampir setiap hari. Pertengkaran orang
tuaku yang entah kapan berakhirnya. Aku sudah terbiasa dengan ini sejak satu
setengah tahun yang lalu. Dan aku harus tetap terbiasa.
***
“Siswa
Baru, nyontek PR dong!”
Riko
tiba-tiba melepas headphone yang
melingkar di telingaku. Aku menatapnya dengan tatapan tidak suka. “Ko, gue udah
satu minggu di sekolah ini dan lo belum hapal juga nama gue?”
“Oke.
Gue ulangin,” katanya. “Regen, gue boleh nyontek PR kimia lo, kan?” ulangnya. Kali
ini dengan menyebut nama asliku.
Aku
membuka tasku dan mengeluarkan buku catatan berwarna biru tua, kemudian
memberikannya pada Riko. Riko yang notabene teman sebangkuku lantas duduk di
sampingku dan cepat-cepat menyalin jawaban tersebut ke atas kertas kosong di
hadapannya sebelum guru kimia datang.
Riko
adalah orang pertama yang kukenal di sekolah ini. Dia siswa yang dikenal bandel
dan tidak taat aturan di sekolah ini. Sebelumnya, ia hanya duduk seorang diri
di kelas lantaran teman sebangkunya pindah beberapa bulan lalu. Ia bilang,
bahwa ia bersyukur dengan kepindahanku ke sekolah ini karena ia menjadi
memiliki teman duduk untuk diconteki PR dan ulangan.
“Eh,
lo sesibuk apa sih, sampe nggak ada waktu buat ngerjain PR?” tanyaku.
“Ah,
lo kayak nggak tau gue aja! Mending main PS lah daripada ngerjain PR,” jawabnya
sambil tetap fokus menyalin jawaban kimia tersebut.
“Emang
lo nggak takut dapet nilai jelek?”
“Gue
udah kebal, kali. Dari SD juga nilai gue gitu-gitu aja.”
Aku
hanya mengangguk-anggukan kepala kemudian kembali memasang headphone-ku dan memutar kembali lagu yang belum sempat selesai
kudengerkan ketika Riko melepas paksa headphone-ku.
“Baby
you light up my world like nobody else. The way that you flip your hair
gets me overwhelmed. But when you smile at
the ground it ain't hard to tell. You don’t know, oh-oh. You don’t know you’re
beautiful.”
Lirik lagu One Direction yang berjudul What Makes You
Beautiful itu tiba-tiba saja mengingatkanku pada Gadis Pecinta Hujan itu.
Cepat-cepat kulepas headphone-ku
dan menatap Riko penuh harap. “Bro, lo mau bantuin gue nggak?” tanyaku pada
Riko yang sudah menyalin sebagian besar jawaban kimia tersebut. Ia memang
memiliki kemampuan untuk menulis cepat.
Riko menatapku tak percaya. “Apa yang seorang Riko bisa
bantu?” tanyanya.
“Tapi
lo mau apa nggak ni?” tanyaku memastikan.
“Ekhem.
Mau-mau aja sih. Asalkan ...” Riko menggantung ucapannya.
“Gue
bakal kasih contekan PR dan ulangan kapanpun lo mau,” tawarku.
Riko
terlihat belum puas. “Itu doang?”
“Ya
elah. Pelit banget sih sama temen sendiri. Ya udah, abis ini gue traktir makan
deh di kantin.”
Riko
tersenyum puas. “Lo tau aja gue lagi laper. Jadi, apa yang bisa gue bantu?”
Aku
tersenyum penuh misteri. “Bantu gue cari tau tentang seseorang.”
*** [BERSAMBBUNG] ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar