Aku menguam sambil
menggeliat mengangkat kedua lengan. Hujan sore ini terasa menyejukkan. Suara
rintiknya bak melodi penghantar tidur yang menuntunku memimpikan Matahariku sepanjang
tidur tadi. Sialnya tetesan hujan yang melewati atap yang bocor seakan memaksaku
untuk bangun.
Aku
mengusap wajahku yang basah terkena tetesan air hujan tersebut. Lama-kelamaan
bulir hujan yang jatuh semakin besar. Aku menatap dari jendela, hujan semakin
deras. Ruangan ini semakin menjadi becek, maka aku segera berpindah dari posisi
tadi ke sisi ruangan yang atapnya tidak bocor.
“Awww!”
jeritku bersamaan dengan pantatku yang mendarat kasar di lantai. Sial, genangan
air hujan yang tumpah ke lantai itu membuatku terpeleset. Di saat-saat seperti
inilah aku tega mengumpati hujan yang selama ini kupuja-puja.
“Kamu
nggak apa-apa, kan?” Seseorang mengulurkan tangannya ke arahku.
DEG!
Bagaikan petir
yang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang, petir itu mendarat ke jantungku.
Menyambarnya dan menyetrum hebat tubuhku. Entah ini mimpi atau kenyataan, namun
aku ingin waktu berhenti sejenak. Jika sudah begini, aku tak lagi mengumpati
tetesan hujan yang telah membangunkanku dan merusak mimpiku dengan Sang
Matahari, karena kini sosok nyatanya berada di hadapanku.
Langsung
kusambut uluran tangannya yang berusaha membantuku untuk berdiri. Aku dapat
merasakan tangan lembutnya menggenggam tanganku yang sudah mati rasa. Kurasakan
pantatku tak lagi nyeri. Namun, seiring dengan itu, jantungku melompat-lompat
semakin menjadi-jadi.
“Kamu
nggak apa-apa, kan?” Ia kembali menanyakan pertanyaan yang belum sempat kujawab
tadi. Ah, entahlah apakah aku terlihat salah tingkah atau tidak, yang jelas aku
tak dapat mengontrol diriku kali ini.
“Iya,
aku nggak apa-apa.” Tentu saja aku tidak apa-apa. Bahkan aku rela terpeleset
ratusan kali hanya untuk dapat menggenggam tangannya ratusan kali pula.
“Kamu
kok masih di sekolah?” tanyanya. Ia melirik jam tangan. “Ini udah jam lima
sore, lho.”
Ya
Tuhan, aku baru ingat. Aku tertidur di perpustakaan sejak jam pulang sekolah.
Ah, betapa malunya aku mengakuinya di depan dia kalau sepulang sekolah tadi
sebenarnya aku berniat menyelesaikan tugas yang tak mungkin kuselesaikan nanti
malam karena akan memata-matai ‘dia’ berkencan dengan teman dekatnya, alih-alih
menyelesaikan tugas, aku malah tertidur di sini. Aku tidak mungkin mengakuinya,
itu memalukan.
“Aku
... aku tadi ngerjain tugas biologi. Kamu tau sendiri ‘kan, Bu Mega kalau
ngasih tugas itu kayak gimana.” Aku mencerna kembali kata-kataku. Ah, aku
bilang apa tadi? Mengerjakan tugas Biologi?
Ia
melirik tumpukan buku di lantai yang tadi jatuh bersamaku ketika terpeleset.
“Bukannya itu buku cetak fisika, ya?”
Aku
mengumpati diriku dalam hati. “Ah, itu .. iya, kan sekalian belajar fisika.
Hehee.”
Sial,
bagaimana mungkin aku bertingkah seaneh ini di depan dia.
“Oh,
iya sudah kalau begitu. Maaf ya aku nggak bisa mengantar kamu pulang. Aku masih harus kumpul OSIS di sekolah,” katanya sambil meraih ember yang tadi dibawanya
untuk menampung tetesan hujan yang menetes dari atap yang bocor tersebut.
Aku
tidak memaafkanmu. Padahal aku sudah membayangkan bagaimana romantisnya jika
dia benar-benar mengantarkanku pulang hujan-hujan begini.
Ah,
apa yang sedang kupikirkan. Segera kutepis khayalan konyol itu ketika mengingat
bahwa ia kini sudah jauh pergi. Pundaknya sudah tak terjamah lagi. Ia sudah
pergi. Benar-benar sudah pergi. Walaupun jarak kami dekat namun rasanya
bagaikan hanya bayangnya saja yang selama ini melewatiku. Sosok nyatanya seakan
benar-benar pergi. Dan, aku harus bersiap menjadi penguntit malam ini.
***
Hujan
masih saja menghiasi langit ketika aku sudah satu jam berdiri di sini. Tak ku
sia-siakan kesempatan itu. Kuulurkan tanganku, mencoba menggapai-gapai tetes
demi tetes hujan sore ini.
Tak
kurasakan dingin yang menelusup merasuki pori-pori kulitku ketika seragamku
sudah basah kuyup begini. Hatiku sudah cukup panas untuk membuat rasa dingin
itu hilang. Sangat-sangat panas hingga kupastikan jika api yang menyala-nyala
dalam hatiku dapat diukur, itu akan dapat mendidihkan air dalam waktu kurang
dari satu menit.
Satu
jam yang lalu, hanya selang lima menit setelah insiden aku yang terpeleset dan
dapat menggenggam tangan Sang Matahari, aku menyaksikannya. Ya, buat apa dia
rela menunggu sampai sore di sekolah tanpa alasan. Dan ‘alasan’ itu membuat
bara api di hatiku menyala-nyala.
Hujan
semakin deras, dan tidak sedikitpun aku berniat untuk menyetop taksi dan
pulang. Halte ini terasa cukup menenangkan di kala hujan. Terbersit angan-angan
di hati, andai saja aku memiliki Sang Hujan yang bersedia membiaskanku, hingga
warna-warnaku terbias sempurna. Sayangnya, Matahari pun enggan menyinari.
“Mau
sampai kapan kamu berdiri di sana?” Di sela-sela rinaian hujan, kudengar
samar-samar suara seseorang mengajukan pertanyaan yang entah ditujukan kepada
siapa. Tak kugubris pertanyaan itu karena berpikir bukan aku yang diajukan
pertanyaan.
“Kalau
mau main hujan jangan setengah-setengah, dong!” seru seseorang dengan suara
yang sama.
Aku
melirik ke arahnya. Pria bermata hazel yang sedang mengalungkan earphone itu tersenyum ke arahku.
Sedetik kemudian dimasukkannya earphone
tersebut ke dalam tas merah maroon di sampingnya.
Lagi-lagi
ia tersenyum ke arahku. Entah apa motif di balik senyuman itu, namun setelah
itu ia menarik tanganku dan membawaku berlari melewati tirai-tirai hujan. Aku
tak bisa menolak, karena memang aku sudah rindu sentuhan hujan yang tak pernah
kurasakan satu tahun terakhir.
*** [BERSAMBUNG] ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar