***
“Mama
sudah bilang, hujan pertama itu tidak baik!” Mama kembali mengangkat handuk
dari wadah berisi air dingin di meja di samping tempat tidurku. Kemudian untuk
kesekian kalinya, ia kembali meletakkan handuk kecil tadi di atas keningku.
“Aku
nggak sengaja, Ma. Tadi di jalan nggak ada taksi. Ya, aku jalan kaki. Eh nggak
taunya malah hujan,” elakku. Tentu saja aku berbohong. Mana mungkin aku
memberitahu yang sebenarnya kalau aku sengaja tidak menyetop taksi dan memilih
untuk menikmati hujan sore ini dengan ‘seseorang’ yang tiba-tiba menyeretku.
“Ya
sudah, besok-besok jangan diulangi lagi,” kata mama, kemudian meninggalkanku
seorang diri di kamar.
Aku
meraih ponsel di samping tempat tidurku. Menyalakannya yang kemudian
menampakkan angka 20:30 pada layarnya. Sial! Gara-gara si Lelaki Hujan tadi,
aku jadi tidak bisa melancarkan aksi penguntitan malam ini. Padahal aku telah
mempersiapkan semuanya. Termasuk menanggung malu di ruang perpustakaan tadi
untuk menyelesaikan tugas yang tak mungkin bisa kuselesaikan malam ini jika
jadi melancarkan aksi.
Kuembuskan
napas beberapa kali. Pikiranku kembali melayang pada kejadian beberapa jam
lalu. Lelaki Hujan yang tak kuketahui namanya itu berhasil merebut perhatianku.
Mata hazelnya yang indah, postur tubuhnya yang tegap, dan suaranya yang lembut
diiringi hujan sore tadi membuatku merasa nyaman seketika.
Aku
menggelengkan kepala berulang kali. Aku tidak boleh menyukainya di saat dia
sendiri telah membuat rencanaku gagal total. Itu pertimbangan yang pertama. Pertimbangan
yang kedua, dia telah membuatku demam sehingga tidak dapat masuk sekolah, dan
tentu saja tidak dapat melihat Matahariku esok ini.
***
Hari
ini dalam sepiku, aku masih memikirkannya. Lebih tepatnya, memikirkan Lelaki Hujan
yang telah mengalihkan perhatianku dalam sekejap. Lelaki Hujan itu telah berhasil menyeret
mundur Matahariku dalam waktu satu hari.
Yap!
Aku masih memanggilnya Lelaki Hujan. Hujan yang tiba-tiba turun di langitku tanpa
tahu dari mana asalnya. Dia begitu misterius. Tak memberiku ruang untuk berpikir;
ia menarik tanganku. Merasakan kesejukan alam di bawah rinai hujan sore kemarin.
Ia menyeretku begitu saja, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ada hal yang
lebih menarik untuk dijamah di luar sana.
Dari balik tirai hujan
sore itu, kulihat lamat-lamat tiap-tiap ukiran tangan Tuhan tersebut. Mata
hazelnya yang tajam bagaikan kutub magnet yang terus menarikku untuk menatapnya.
Senyumnya, manis sekali. Bahkan aku berani bertaruh, jika senyuman itu diibaratkan
sebagai gula, aku akan diabetes seketika pada lima menit pandangan pertama.
Kemudian suaranya yang lembut ketika di halte, membuat indera pendengaranku terus
saja memutar kembali rekamannya dalam memoriku.
Jika dinilai secara keseluruhan,
aku dapat menyimpulkan bahwa wajahnya begitu menyejukkan. Tidak salah kuberi ia
julukan sebagai ‘Lelaki Hujan’.
***
Hari
ini hujan kembali deras setelah reda beberapa menit. Dan di sinilah aku. Di halte
depan sekolah, menunggu supirku datang menjemput. Setelah kejadian demam dua
hari yang lalu, mama menjadi over
protective.
Aku
masih mengulurkan tangan; mencoba menggapai-gapai setiap tetes demi tetes hujan
siang ini. Menyejukkan. Rasanya tak ada yang lebih menyejukkan dari ini. Perpaduan
dari melodi yang tercipta antara pantulan bulir-bulir hujan dengan aspal yang
basah membuatku merasa nyaman. Pun bau khas petrikor tidak kalah menenangkan. Aku
benar-benar mencintai hujan.
Aku
memejamkan mata dengan kedua tangan yang masih terulur.
“Hai,
Perempuan Pecinta Hujan!”
Aku
menelengkan kepala ke kanan ketika sebuah suara mengusik indera pendengaranku.
DEG!
Ia menyambut
tatapanku dengan senyum yang masih sama seperti dua hari lalu. Seperti yang
pernah kukatakan, matanya bagaikan kutub magnet yang terus saja menarik mataku
untuk menatapnya. Seolah-olah terkunci, aku tak dapat mengalihkan pandanganku
dari matanya. Mata hazel yang begitu menenangkan bak hujan siang ini.
Ia
tertawa jahil. Cepat-cepat kualihkan pandangan darinya.
“Aku
sulit mengartikan tatapan itu. Tapi yang jelas, aku senang bertemu kamu lagi.”
Ia menyunggingkan kembali senyuman mautnya. Membuat tubuhku membeku seketika. Tiba-tiba
kurasakan hujan bagaikan salju yang menghantam tubuhku.
Ia
terlihat menunggu jawaban. Aku tak kunjung membalas ucapannya. Padahal jelas-jelas
ia tak mengajukan pertanyaan. Maka kurasa tak ada jawaban yang perlu
kuutarakan.
“Jangan
bersikap begitu! Terlihat jelas kalau kamu sedang salah tingkah.” Ia tersenyum
jahil sebelum beralih duduk ke bangku halte di belakangku. Tepat di belakangku.
Lagi-lagi,
ucapannya tadi menampar telak ulu hatiku. Lelaki Hujan yang selama dua hari ini
mengalihkan perhatianku. Lelaki Hujan yang terus-terusan memenuhi otakku. Yang membuatku
merasakan kenyamanan baru, yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
“Nggak
capek berdiri terus?” Ia bertanya.
Ini
pertanyaan, maka kali ini aku harus menjawabnya. “Nggak!” jawabku sekenannya.
“Ternyata
tubuhmu cukup lemah. Baru terkena hujan saja langsung sakit,” ucapnya.
Aku
menatapnya dengan tatapan tidak suka. Laki-laki ini terus saja berucap
seenaknya tanpa menyaring ucapannya terlebih dahulu. Menyesal aku telah mengelu-elukan
dirinya dalam hatiku dua hari ini. Ternyata sifat aslinya mulai terlihat.
“Aku
hanya bercanda. Ternyata kamu mudah tersinggung, ya,” ucapnya lagi. lagi-lagi
terdengar menyebalkan di telingaku. “Aku Regen.” Ia mengulurkan tangan ke
arahku. Tiba-tiba saja ia sudah beranjak dari duduknya dan berdiri di
sampingku.
Entah
apa yang menarik tanganku menjawab uluran tangan itu, aku membalas uluran
tangannya. “Aku Pelangi,” balasku.
Ia
tersenyum manis. Tidak lagi terlihat sebagai sosok menyebalkan, namun lebih
terlihat seperti Dewa Hujan yang siap menyejukkan Bumi.
“Meine Regenbogen,”
ucapnya lembut sambil menatap kedua bola mataku.
*** [BERSAMBUNG] ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar