Minggu, 22 November 2015

REFRACTION #4 — Virus Merah Jambu

REGEN P.O.V

***
            “Nama lengkapnya Pelangi Prameswari. Dia lahir tanggal 17 Agustus. Anaknya pendiam gitu tapi bisa jadi cerewet kalo udah kumpul bareng temen-temennya. Dia juga agak jutek sih, tapi baik kok,” jelas Riko. “Ah iya, dia tinggal di Villa Raflesia nomor 7. Rumahnya yang cat hijau toska. Gerbangnya warna hitam. Nah, ruangan yang di lantai dua yang menghadap ke barat kan ada tiga ruangan, kamarnya si Pelangi yang gordennya warna biru safir,” sambungnya.
            Kini kami berada di sudut kantin. Lebih tepatnya, dia bangku nomor dua puluh satu—bangku paling pojok.
            Aku menganga heran, mendengar Riko yang menjabarkan tentang rumah dan letak kamar Pelangi dengan begitu detail.
            “Lo pembantunya apa tukang kebunnya, sih? Kok sampe hapal gitu letak kamar orang segala!”
            Riko mendekatkan bibirnya ke telingaku. Aku sempat bergidik ngeri. Kemudian ia membisikan sesuatu, “Gue pernah suka sama dia,” katanya dan berhasil membuatku terdiam sejenak.
            Riko menepuk pundakku. “Tenang aja, bro! Itu dulu, sebelum cinta gue ditolak mentah-mentah.”
            Aku membekap mulut, tak tahan menembakkan tawa. Namun aku segera menahannya sekuat mungkin agar tawaku tidak meledak. Aku harus menjaga perasaan Riko.
            “Kok bisa?” tanyaku polos.
            Riko mengembuskan napas. “Hatinya udah terkunci, sih. Bahkan kuncinya hilang. Kalau ada yang berhasil nemuin tu kunci, baru deh hatinya bisa kebuka untuk si penemu kunci itu,” kata Riko. Ia kembali menatapku dengan seulas senyum. “Tapi sekarang gue udah move-on, dong! Bukan Riko namanya kalau hanya menyerah dengan satu perempuan!” katanya lagi sambil mengeluarkan tawa percaya dirinya yang sengaja dibuat-buat se-cool mungkin.
            Aku mencerna kata-kata Riko. Namun aku sulit mencernanya. Mencerna maksud dari; hatinya sudah terkunci dan kuncinya hilang?
            Riko kembali menyantap bakso di depannya dengan lahap. Sedangkan aku hanya menatap lurus seorang gadis yang sedang menyeruput jus jeruk di hadapannya. Ia bercerita sambil sesekali memakan nasi gorengnya. Meski aku tak tahu apa yang sedang ia bicarakan dengan dua orang temannya, aku dapat melihat dari ekspresinya bahwa mereka sedang membahas sesuatu yang lucu—tersenyum dan tertawa seperti sedang menonton acara komedi.
            “Nah kalo yang dua orang itu sahabatnya Pelangi. Yang cewek itu namanya Gista, rumahnya di depan rumah Pelangi, mereka udah sahabatan sejak baru lahir. Kalau yang cowok itu sepupunya Pelangi, namanya Kelvin. Si Kelvin itu sepupunya Pelangi dari luar kota. Baru aja pindah ke sini sejak lulus SMP. Nah, mereka bertiga ini deket banget. Saking deketnya, ke mana-mana pasti bareng-bareng,” jelas Riko lagi.
             Aku tak terlalu memerdulikan penjelasan Riko barusan. Aku masih mencoba mencerna kata-kata Riko sebelum ini mengenai hati Pelangi yang sudah terkunci.
            Tiba-tiba saja Riko menatapku serius. “Eh, Reg, ngomong-ngomong ... lo suka sama Pelangi, ya?” tanya Riko serius. Sangat serius, sehingga tak dapat kupercaya yang baru saja bertanya ini adalah Riko—anak laki-laki bandel yang tidak pernah bisa berbicara serius.
            “Entahlah,” jawabku dengan tetap fokus menatapnya dari posisiku sekarang.               
            “Alaaah, itu mah udah jelas suka namanya!” tegas Riko.
            “Kagak tau deh, Ko!”
            Riko mengangkat mangkuk baksonya, kemudian menyeruput sisa kuahnya dengan bakso, mie, dan sayur yang sudah tak tersisa. Kemudian ia melirik mangkuk baksoku yang masih padat dengan bakso dan segala isinya.
            “Reg, kasian tu bakso lo dianggurin mulu! Gue maklum kok, kalau seseorang sedang terserang virus merah jambu, maka ia akan tak nafsu untuk berlaku apapun. Termasuk makan,” katanya sok bijak.
            “Dasar modus lo! Kalo mau minta bakso, ya terang-terangan aja mintanya nggak pake kode-kodean!”
            “Kan biar kekinian, Reg. Pake kode-kodean gitu,” ucap Riko.
            Langsung saja kusodorkan mangkuk baksoku padanya. Tak perlu menunggu lama dan menjaga image, Riko langsung menyantap, satu demi satu; helai demi helai; dan mili liter demi mili liter, semangkuk mantan baksoku beserta isinya.
            “Ko, lo nggak dikasi makan berapa tahun sih sama orang tua lo sampe segitunya banget?” tanyaku takjub melihat Riko yang melahap rakus semangkuk bakso tersebut seperti kuli yang baru saja bekerja berjam-jam.
            Riko, yang tak memerdulikan ucapanku tadi, hanya terfokus pada semangkuk bakso tersebut. Dan aku kembali melirik Pelangi di ujung sana. Ia masih bercanda tawa dengan kedua sahabatnya—Gista dan Kelvin—dengan tawa yang masih saja sesekali meledak di antara mereka bertiga. Kulihat tawanya seakan tanpa beban, kecantikannya semakin terpancar.
            Aku melirik kembali Riko di sampingku. Tiba-tiba saja ia meminum rakus es tehnya sambil menelan paksa bakso yang sedang dikunyahnya. “Itu orangnya!” pekiknya dengan suara rendah.
            Aku menatap Riko penuh tanya. “Orangnya? Siapa?”
            Riko kembali menunjuk seorang anak laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit hitam manis yang sedang memegangi basket sambil sesekali menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Baju olahraganya sudah basah terkena peluh. Namun hal tersebut tidak mengurangi kekaguman siswa perempuan yang ada di kantin. Hal itu terlihat jelas dari cara mereka memandanginya dan berbisik-bisik tentangnya. Sepertinya anak laki-laki itu cukup populer di sekolah ini.
            “Dia Fajar,” kata Riko sambil menunjuk anak laki-laki itu yang baru saja menduduki bangku nomor tigabelas. “Dia cowok terpopuler di sekolah ini. Ketua OSIS sekaligus kapten basket sekolah ini.”
            “Lalu?” Aku menunggu penjelasan dari Riko mengenai dirinya yang heboh menyambut kehadiran si Fajar tersebut.
            “Dia itu ... cowok yang telah menggembok hati Pelangi!”
            JLEBB!
            Cowok yang telah menggembok hati Pelangi?
            Aku mulai dapat mencerna kata-kata Riko yang belum dapat kucerna tadi. Kini, kuketahui mengenai hati Pelangi yang sudah terkunci dan mengenai kuncinya yang telah hilang. Ternyata si Fajar-lah orang telah menggemboknya dan membuang begitu saja kuncinya agar tak ada yang dapat memasuki hati Pelangi.
            Dan entah karena apa, aku merasa iri dengan anak laki-laki itu. Bukan karena ia adalah cowok terpopuler dan dikagumi banyak perempuan. Tapi karena salah satu pengagumnya itu adalah Pelangiku—Meine Regenbogen.
            Aku tak dapat membohongi diriku sendiri bahwa aku memang cemburu. Pun tak dapat lagi mengelak kata-kata Riko mengenai aku yang tengah terserang virus merah jambu.

*** [BERSAMBUNG] ***


            

Jumat, 20 November 2015

REFRACTION #3 — Gadis Pecinta Hujan


REGEN P.O.V

Aku duduk tepat di belakang posisinya berdiri. Aku memerhatikannya dari posisiku sekarang. Ia yang merasa diperhatikan menjadi salah tingkah. Hal itu terlihat jelas dari gerak tubuhnya; menatap tali sepatu yang sejatinya tak mampu bergerak sendiri, memukul-mukul lantai dengan ujung kaki yang dilapisi sepatu, dan sesekali mengembuskan napas. Tingkah lakunya sekarang sangat jauh berbeda dari saat sebelum aku menuju halte ini. Mungkin ia risih, pikirku. Atau ia adalah gadis pemalu yang tidak mudah bergaul dengan orang yang baru dikenal. Intinya, aku mulai dapat membaca sedikit demi sedikit karakternya.
Tiba-tiba saja sebuah ide mampir ke otakku. Aku menghampirinya dan berdiri di sampingnya. Ingin membuktikan bahwa argumenku benar; aku menatapnya dalam diam. Aku tahu kalau ia menyadari keberadaanku di sampingnya, namun kembali ke opiniku sebelumnya—bahwa ia adalah gadis pemalu yang tidak mudah bergaul dengan orang baru—ia pura-pura tidak mengetahuinya. Bahkan ia tak menoleh ke arahku barang 30 derajat pun.
Aku mengulurkan tangan ke arahnya. “Aku Regen.”
            Gadis itu menoleh sambil menampilkan wajah bingungnya yang menurutku sangat lucu. Ia menatap tanganku yang sudah kuulurkan ke arahnya. Tanpa kusangka, ia membalas uluran tanganku. “Aku Pelangi,” jawabnya kemudian langsung melepaskan tangan lembutnya dari genggamanku.
            DEG!
            Pelangi ...
Aku menatapnya tepat di kedua bola matanya. Aku menyunggingkan senyum ke arahnya. Senyum tertulus yang pernah tercipta di wajahku.
Pelangi ...
Nama itu mengingatkanku pada dongeng masa lalu yang selalu diceritakan mama kepadaku sebelum tidur. Dongeng yang selalu kuharapkan kebenarannya. Dongeng masa lalu yang berusaha kuwujudkan.
“Meine Regenbogen,” ucapku spontan. Kata-kata itu mengalir begitu saja.
Aku tiba-tiba saja berucap begitu kepadanya. Kusadarkan diriku secepatnya dari bayang-bayang dongeng masa lalu itu.
“Meine Regenbogen? Artinya?” tanyanya bingung.
Pelangiku, ucapku dalam hati.
“Mmm, aku cuma ...” Belum sempat kujawab pertanyaannya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan kami. Sang empunya—seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahun—membuka kaca mobil.
“Pelangi,” panggilnya.
Dari ukiran wajah wanita itu, dapat kutebak bahwa ia adalah ibu Pelangi. Ibu Pelangi keluar dari mobil sambil berlindung di bawah payung. Pelangi menyambutnya dengan senyuman.
“Paman Rinto mana, Ma? Tumben Mama yang jemput aku,” tanya Pelangi.
“Paman Rinto lagi benerin atap garasi yang bocor, jadi nggak bisa jemput,” terang mama Pelangi. Aku hanya menyaksikan ibu dan anak tersebut. Menyadari keberadaanku, mama Pelangi menyunggingkan senyum ke arahku. Senyum yang sama persis dari senyuman milik Pelangi. Kini aku tahu dari mana senyuman tersebut menurun.
“Adik ini temannya Pelangi, ya,” tanya mama Pelangi kepadaku.
Aku membalasnya dengan senyuman. “Iya, Tante. Saya Regen,” kataku memperkenalkan diri.
“Rumah kamu di mana? Mau sekalian Tante anterin?” tawarnya.
Aku melirik Pelangi sekilas. Ia hanya mengedikkan bahu, memberi tanda bahwa jawabannya diserahkan padaku.
“Nggak usah repot-repot, Tante. Jemputan saya sebentar lagi datang, kok,” elakku. Sebenarnya aku ingin. Sangat-sangat ingin berada lebih lama bersama Pelangi. Namun aku hanya merasa tidak enak saja. Aku dan Pelangi saja baru bertemu dua kali.
“Ya sudah kalau begitu. Tante dan Pelangi duluan, ya.”
Sebelum benar-benar meninggalkanku, aku melihat Pelangi menyunggingkan seulas senyuman. Senyuman tertulus darinya yang pernah kudapatkan.
Seketika, kurasa hujan semakin menusuk kulitku. Aku membeku. Senyuman itu seolah memiliki sihir yang dapat membekukanku dalam sekejap.
Entah inikah namanya cinta pada pandangan pertama. Namun aku belum berani menyimpulkannya.

***
            Sudah tengah malam, namun aku masih memikirkan Gadis Pecinta Hujan itu. Dia begitu mirip dengan gadis dalam dongeng yang pernah diceritakan ibu kepadaku. Sangat amat mirip. Bahkan caranya menikmati dentuman melodi hujan siang tadi. Juga caranya merasakan tetes demi tetes hujan yang turun.
            PLAK!
            “Aww ...”
            “Kamu pikir untuk siapa aku bekerja hingga larut malam seperti ini kalau bukan untuk kamu dan Regen!”
            “Kamu bilang bekerja? Bekerja apanya hingga larut begini? Bekerja untuk merayu pelac*r itu?”
            PLAKK!
            Lagi-lagi kudengar noktuno yang selalu mengusik pendengaranku. Pertengkaran kedua orang tuaku. Tak terasa air mata kepedihan itu kembali menetes di pipiku. Aku benci menangis. Namun, tak ada cara lain yang bisa kuperbuat selain itu.
            Segera kuputar musik rock di ponselku sekeras mungkin. Kemudian kutempelkan headphone putihku setepat mungkin di telingaku. Berharap nyanyian malam itu tak terdengar lagi dengan cara begini.
            Nokturno. Nyanyian malam yang selalu kudengar hampir setiap hari. Pertengkaran orang tuaku yang entah kapan berakhirnya. Aku sudah terbiasa dengan ini sejak satu setengah tahun yang lalu. Dan aku harus tetap terbiasa.
***
            “Siswa Baru, nyontek PR dong!”
            Riko tiba-tiba melepas headphone yang melingkar di telingaku. Aku menatapnya dengan tatapan tidak suka. “Ko, gue udah satu minggu di sekolah ini dan lo belum hapal juga nama gue?”
            “Oke. Gue ulangin,” katanya. “Regen, gue boleh nyontek PR kimia lo, kan?” ulangnya. Kali ini dengan menyebut nama asliku.
            Aku membuka tasku dan mengeluarkan buku catatan berwarna biru tua, kemudian memberikannya pada Riko. Riko yang notabene teman sebangkuku lantas duduk di sampingku dan cepat-cepat menyalin jawaban tersebut ke atas kertas kosong di hadapannya sebelum guru kimia datang.
            Riko adalah orang pertama yang kukenal di sekolah ini. Dia siswa yang dikenal bandel dan tidak taat aturan di sekolah ini. Sebelumnya, ia hanya duduk seorang diri di kelas lantaran teman sebangkunya pindah beberapa bulan lalu. Ia bilang, bahwa ia bersyukur dengan kepindahanku ke sekolah ini karena ia menjadi memiliki teman duduk untuk diconteki PR dan ulangan.
            “Eh, lo sesibuk apa sih, sampe nggak ada waktu buat ngerjain PR?” tanyaku.
            “Ah, lo kayak nggak tau gue aja! Mending main PS lah daripada ngerjain PR,” jawabnya sambil tetap fokus menyalin jawaban kimia tersebut.
            “Emang lo nggak takut dapet nilai jelek?”
            “Gue udah kebal, kali. Dari SD juga nilai gue gitu-gitu aja.”
            Aku hanya mengangguk-anggukan kepala kemudian kembali memasang headphone-ku dan memutar kembali lagu yang belum sempat selesai kudengerkan ketika Riko melepas paksa headphone-ku.
            “Baby you light up my world like nobody else. The way that you flip your hair gets me overwhelmed. But when you smile at the ground it ain't hard to tell. You don’t know, oh-oh. You don’t know you’re beautiful.”
            Lirik lagu One Direction yang berjudul What Makes You Beautiful itu tiba-tiba saja mengingatkanku pada Gadis Pecinta Hujan itu.
            Cepat-cepat kulepas headphone-ku dan menatap Riko penuh harap. “Bro, lo mau bantuin gue nggak?” tanyaku pada Riko yang sudah menyalin sebagian besar jawaban kimia tersebut. Ia memang memiliki kemampuan untuk menulis cepat.
            Riko menatapku tak percaya. “Apa yang seorang Riko bisa bantu?” tanyanya.
            “Tapi lo mau apa nggak ni?” tanyaku memastikan.
            “Ekhem. Mau-mau aja sih. Asalkan ...” Riko menggantung ucapannya.
            “Gue bakal kasih contekan PR dan ulangan kapanpun lo mau,” tawarku.
            Riko terlihat belum puas. “Itu doang?”
            “Ya elah. Pelit banget sih sama temen sendiri. Ya udah, abis ini gue traktir makan deh di kantin.”
            Riko tersenyum puas. “Lo tau aja gue lagi laper. Jadi, apa yang bisa gue bantu?”
            Aku tersenyum penuh misteri. “Bantu gue cari tau tentang seseorang.”



*** [BERSAMBBUNG] ***

Kamis, 19 November 2015

REFRACTION #2 — Lelaki Hujan Bermata Hazel

***
            “Mama sudah bilang, hujan pertama itu tidak baik!” Mama kembali mengangkat handuk dari wadah berisi air dingin di meja di samping tempat tidurku. Kemudian untuk kesekian kalinya, ia kembali meletakkan handuk kecil tadi di atas keningku.
            “Aku nggak sengaja, Ma. Tadi di jalan nggak ada taksi. Ya, aku jalan kaki. Eh nggak taunya malah hujan,” elakku. Tentu saja aku berbohong. Mana mungkin aku memberitahu yang sebenarnya kalau aku sengaja tidak menyetop taksi dan memilih untuk menikmati hujan sore ini dengan ‘seseorang’ yang tiba-tiba menyeretku.
            “Ya sudah, besok-besok jangan diulangi lagi,” kata mama, kemudian meninggalkanku seorang diri di kamar.
            Aku meraih ponsel di samping tempat tidurku. Menyalakannya yang kemudian menampakkan angka 20:30 pada layarnya. Sial! Gara-gara si Lelaki Hujan tadi, aku jadi tidak bisa melancarkan aksi penguntitan malam ini. Padahal aku telah mempersiapkan semuanya. Termasuk menanggung malu di ruang perpustakaan tadi untuk menyelesaikan tugas yang tak mungkin bisa kuselesaikan malam ini jika jadi melancarkan aksi.
            Kuembuskan napas beberapa kali. Pikiranku kembali melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Lelaki Hujan yang tak kuketahui namanya itu berhasil merebut perhatianku. Mata hazelnya yang indah, postur tubuhnya yang tegap, dan suaranya yang lembut diiringi hujan sore tadi membuatku merasa nyaman seketika.
            Aku menggelengkan kepala berulang kali. Aku tidak boleh menyukainya di saat dia sendiri telah membuat rencanaku gagal total. Itu pertimbangan yang pertama. Pertimbangan yang kedua, dia telah membuatku demam sehingga tidak dapat masuk sekolah, dan tentu saja tidak dapat melihat Matahariku esok ini.
***
            Hari ini dalam sepiku, aku masih memikirkannya. Lebih tepatnya, memikirkan Lelaki Hujan yang telah mengalihkan perhatianku dalam sekejap.  Lelaki Hujan itu telah berhasil menyeret mundur Matahariku dalam waktu satu hari.
            Yap! Aku masih memanggilnya Lelaki Hujan. Hujan yang tiba-tiba turun di langitku tanpa tahu dari mana asalnya. Dia begitu misterius. Tak memberiku ruang untuk berpikir; ia menarik tanganku. Merasakan kesejukan alam di bawah rinai hujan sore kemarin. Ia menyeretku begitu saja, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ada hal yang lebih menarik untuk dijamah di luar sana.
Dari balik tirai hujan sore itu, kulihat lamat-lamat tiap-tiap ukiran tangan Tuhan tersebut. Mata hazelnya yang tajam bagaikan kutub magnet yang terus menarikku untuk menatapnya. Senyumnya, manis sekali. Bahkan aku berani bertaruh, jika senyuman itu diibaratkan sebagai gula, aku akan diabetes seketika pada lima menit pandangan pertama. Kemudian suaranya yang lembut ketika di halte, membuat indera pendengaranku terus saja memutar kembali rekamannya dalam memoriku.
Jika dinilai secara keseluruhan, aku dapat menyimpulkan bahwa wajahnya begitu menyejukkan. Tidak salah kuberi ia julukan sebagai ‘Lelaki Hujan’.
***
            Hari ini hujan kembali deras setelah reda beberapa menit. Dan di sinilah aku. Di halte depan sekolah, menunggu supirku datang menjemput. Setelah kejadian demam dua hari yang lalu, mama menjadi over protective.
            Aku masih mengulurkan tangan; mencoba menggapai-gapai setiap tetes demi tetes hujan siang ini. Menyejukkan. Rasanya tak ada yang lebih menyejukkan dari ini. Perpaduan dari melodi yang tercipta antara pantulan bulir-bulir hujan dengan aspal yang basah membuatku merasa nyaman. Pun bau khas petrikor tidak kalah menenangkan. Aku benar-benar mencintai hujan.
            Aku memejamkan mata dengan kedua tangan yang masih terulur.
            “Hai, Perempuan Pecinta Hujan!”
            Aku menelengkan kepala ke kanan ketika sebuah suara mengusik indera pendengaranku.
            DEG!
            Ia menyambut tatapanku dengan senyum yang masih sama seperti dua hari lalu. Seperti yang pernah kukatakan, matanya bagaikan kutub magnet yang terus saja menarik mataku untuk menatapnya. Seolah-olah terkunci, aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari matanya. Mata hazel yang begitu menenangkan bak hujan siang ini.
            Ia tertawa jahil. Cepat-cepat kualihkan pandangan darinya.
            “Aku sulit mengartikan tatapan itu. Tapi yang jelas, aku senang bertemu kamu lagi.” Ia menyunggingkan kembali senyuman mautnya. Membuat tubuhku membeku seketika. Tiba-tiba kurasakan hujan bagaikan salju yang menghantam tubuhku.
            Ia terlihat menunggu jawaban. Aku tak kunjung membalas ucapannya. Padahal jelas-jelas ia tak mengajukan pertanyaan. Maka kurasa tak ada jawaban yang perlu kuutarakan.
            “Jangan bersikap begitu! Terlihat jelas kalau kamu sedang salah tingkah.” Ia tersenyum jahil sebelum beralih duduk ke bangku halte di belakangku. Tepat di belakangku.
            Lagi-lagi, ucapannya tadi menampar telak ulu hatiku. Lelaki Hujan yang selama dua hari ini mengalihkan perhatianku. Lelaki Hujan yang terus-terusan memenuhi otakku. Yang membuatku merasakan kenyamanan baru, yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
            “Nggak capek berdiri terus?” Ia bertanya.
            Ini pertanyaan, maka kali ini aku harus menjawabnya. “Nggak!” jawabku sekenannya.
            “Ternyata tubuhmu cukup lemah. Baru terkena hujan saja langsung sakit,” ucapnya.
            Aku menatapnya dengan tatapan tidak suka. Laki-laki ini terus saja berucap seenaknya tanpa menyaring ucapannya terlebih dahulu. Menyesal aku telah mengelu-elukan dirinya dalam hatiku dua hari ini. Ternyata sifat aslinya mulai terlihat.
            “Aku hanya bercanda. Ternyata kamu mudah tersinggung, ya,” ucapnya lagi. lagi-lagi terdengar menyebalkan di telingaku. “Aku Regen.” Ia mengulurkan tangan ke arahku. Tiba-tiba saja ia sudah beranjak dari duduknya dan berdiri di sampingku.
            Entah apa yang menarik tanganku menjawab uluran tangan itu, aku membalas uluran tangannya. “Aku Pelangi,” balasku.
            Ia tersenyum manis. Tidak lagi terlihat sebagai sosok menyebalkan, namun lebih terlihat seperti Dewa Hujan yang siap menyejukkan Bumi.
“Meine Regenbogen,” ucapnya lembut sambil menatap kedua bola mataku.



*** [BERSAMBUNG] ***

Senin, 16 November 2015

REFRACTION #1 — Lelaki Hujan

            

Aku menguam sambil menggeliat mengangkat kedua lengan. Hujan sore ini terasa menyejukkan. Suara rintiknya bak melodi penghantar tidur yang menuntunku memimpikan Matahariku sepanjang tidur tadi. Sialnya tetesan hujan yang melewati atap yang bocor seakan memaksaku untuk bangun.
            Aku mengusap wajahku yang basah terkena tetesan air hujan tersebut. Lama-kelamaan bulir hujan yang jatuh semakin besar. Aku menatap dari jendela, hujan semakin deras. Ruangan ini semakin menjadi becek, maka aku segera berpindah dari posisi tadi ke sisi ruangan yang atapnya tidak bocor.
            “Awww!” jeritku bersamaan dengan pantatku yang mendarat kasar di lantai. Sial, genangan air hujan yang tumpah ke lantai itu membuatku terpeleset. Di saat-saat seperti inilah aku tega mengumpati hujan yang selama ini kupuja-puja.
            “Kamu nggak apa-apa, kan?” Seseorang mengulurkan tangannya ke arahku.
            DEG!
            Bagaikan petir yang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang, petir itu mendarat ke jantungku. Menyambarnya dan menyetrum hebat tubuhku. Entah ini mimpi atau kenyataan, namun aku ingin waktu berhenti sejenak. Jika sudah begini, aku tak lagi mengumpati tetesan hujan yang telah membangunkanku dan merusak mimpiku dengan Sang Matahari, karena kini sosok nyatanya berada di hadapanku.
            Langsung kusambut uluran tangannya yang berusaha membantuku untuk berdiri. Aku dapat merasakan tangan lembutnya menggenggam tanganku yang sudah mati rasa. Kurasakan pantatku tak lagi nyeri. Namun, seiring dengan itu, jantungku melompat-lompat semakin menjadi-jadi.
            “Kamu nggak apa-apa, kan?” Ia kembali menanyakan pertanyaan yang belum sempat kujawab tadi. Ah, entahlah apakah aku terlihat salah tingkah atau tidak, yang jelas aku tak dapat mengontrol diriku kali ini.
            “Iya, aku nggak apa-apa.” Tentu saja aku tidak apa-apa. Bahkan aku rela terpeleset ratusan kali hanya untuk dapat menggenggam tangannya ratusan kali pula.
            “Kamu kok masih di sekolah?” tanyanya. Ia melirik jam tangan. “Ini udah jam lima sore, lho.”
            Ya Tuhan, aku baru ingat. Aku tertidur di perpustakaan sejak jam pulang sekolah. Ah, betapa malunya aku mengakuinya di depan dia kalau sepulang sekolah tadi sebenarnya aku berniat menyelesaikan tugas yang tak mungkin kuselesaikan nanti malam karena akan memata-matai ‘dia’ berkencan dengan teman dekatnya, alih-alih menyelesaikan tugas, aku malah tertidur di sini. Aku tidak mungkin mengakuinya, itu memalukan.
            “Aku ... aku tadi ngerjain tugas biologi. Kamu tau sendiri ‘kan, Bu Mega kalau ngasih tugas itu kayak gimana.” Aku mencerna kembali kata-kataku. Ah, aku bilang apa tadi? Mengerjakan tugas Biologi?
            Ia melirik tumpukan buku di lantai yang tadi jatuh bersamaku ketika terpeleset. “Bukannya itu buku cetak fisika, ya?”
            Aku mengumpati diriku dalam hati. “Ah, itu .. iya, kan sekalian belajar fisika. Hehee.”
            Sial, bagaimana mungkin aku bertingkah seaneh ini di depan dia.
            “Oh, iya sudah kalau begitu. Maaf ya aku nggak bisa mengantar kamu pulang. Aku masih harus kumpul OSIS di sekolah,” katanya sambil meraih ember yang tadi dibawanya untuk menampung tetesan hujan yang menetes dari atap yang bocor tersebut.
            Aku tidak memaafkanmu. Padahal aku sudah membayangkan bagaimana romantisnya jika dia benar-benar mengantarkanku pulang hujan-hujan begini.
            Ah, apa yang sedang kupikirkan. Segera kutepis khayalan konyol itu ketika mengingat bahwa ia kini sudah jauh pergi. Pundaknya sudah tak terjamah lagi. Ia sudah pergi. Benar-benar sudah pergi. Walaupun jarak kami dekat namun rasanya bagaikan hanya bayangnya saja yang selama ini melewatiku. Sosok nyatanya seakan benar-benar pergi. Dan, aku harus bersiap menjadi penguntit malam ini.
***
            Hujan masih saja menghiasi langit ketika aku sudah satu jam berdiri di sini. Tak ku sia-siakan kesempatan itu. Kuulurkan tanganku, mencoba menggapai-gapai tetes demi tetes hujan sore ini.
            Tak kurasakan dingin yang menelusup merasuki pori-pori kulitku ketika seragamku sudah basah kuyup begini. Hatiku sudah cukup panas untuk membuat rasa dingin itu hilang. Sangat-sangat panas hingga kupastikan jika api yang menyala-nyala dalam hatiku dapat diukur, itu akan dapat mendidihkan air dalam waktu kurang dari satu menit.
            Satu jam yang lalu, hanya selang lima menit setelah insiden aku yang terpeleset dan dapat menggenggam tangan Sang Matahari, aku menyaksikannya. Ya, buat apa dia rela menunggu sampai sore di sekolah tanpa alasan. Dan ‘alasan’ itu membuat bara api di hatiku menyala-nyala.
            Hujan semakin deras, dan tidak sedikitpun aku berniat untuk menyetop taksi dan pulang. Halte ini terasa cukup menenangkan di kala hujan. Terbersit angan-angan di hati, andai saja aku memiliki Sang Hujan yang bersedia membiaskanku, hingga warna-warnaku terbias sempurna. Sayangnya, Matahari pun enggan menyinari.
            “Mau sampai kapan kamu berdiri di sana?” Di sela-sela rinaian hujan, kudengar samar-samar suara seseorang mengajukan pertanyaan yang entah ditujukan kepada siapa. Tak kugubris pertanyaan itu karena berpikir bukan aku yang diajukan pertanyaan.
            “Kalau mau main hujan jangan setengah-setengah, dong!” seru seseorang dengan suara yang sama.
            Aku melirik ke arahnya. Pria bermata hazel yang sedang mengalungkan earphone itu tersenyum ke arahku. Sedetik kemudian dimasukkannya earphone tersebut ke dalam tas merah maroon di sampingnya.
            Lagi-lagi ia tersenyum ke arahku. Entah apa motif di balik senyuman itu, namun setelah itu ia menarik tanganku dan membawaku berlari melewati tirai-tirai hujan. Aku tak bisa menolak, karena memang aku sudah rindu sentuhan hujan yang tak pernah kurasakan satu tahun terakhir.

*** [BERSAMBUNG] ***

Senin, 27 Juli 2015

Aku yang Tersesat di Persimpangan

image by : rotihidup.blogspot.com

Pukul setengah lima sebelum fajar menyingsing, kulihat mama di ruang kerjanya sudah bergelut dengan tumpukkan kertas di hadapan laptop bermerek apple keluaran terbaru. Biasanya ayah tiriku menempati meja di samping meja kerja mama untuk sama-sama menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Tapi kebetulan ayah sedang bertugas di luar kota sehingga mama hanya seorang diri di ruangan itu bersama tumpukan kertas dan seperangkat alat elektronik. Memang dua orang yang gila bekerja.
            “Ma, bukannya mama harus ke gereja hari ini?” Aku menghampiri mama ke ruang kerjanya untuk memberikan secangkir teh hangat, berharap dapat menyegarkan otaknya yang selalu dipaksa untuk bekerja.
            Mama langsung menyeruput teh tersebut. “Mama sedang sibuk, sayang. Mungkin di lain waktu.” Selalu dengan jawaban yang sama dan dengan ekspresi yang sama; tanpa mengalihkan pandangan dari kertas di hadapannya. Mama seperti tidak berminat menjawab pertanyaanku. Seakan-akan tumpukan kertas tersebut jauh lebih menggairahkan.
***
Aku yang tersesat di persimpangan. Bukan simpang tiga maupun empat. Namun berjuta simpangan yang harus kulalui satu persatu untuk mencari keberadaan seberkas cahaya yang selama ini hilang dari jiwaku. Aku yang tersesat di persimpangan. Di antara jutaan jalan berkelok yang tak kuketahui ujungnya. Tak satupun peta—bahkan atlas—yang dapat menunjukkanku jalan mana yang dapat kulalui. Maka aku hanya akan terus mencari, mencari, dan mencari sebisaku, hingga aku yang tersesat ini dapat segera menemui seberkas cahaya itu.
            Terngiang kembali di telingaku percakapan dengan kakak tiriku satu tahun yang lalu. Percakapan yang telah membawaku ke tengah-tengah persimpangan ini, hingga aku benar-benar tersesat dan kehilangan seberkas cahaya itu.
            Minggu pagi setahun yang lalu, kakak tiriku mengajakku bertemu di sebuah rumah makan. Sebelumnya kami memang sudah saling mengenal dan cukup dekat, meskipun pada saat itu aku masih tinggal bersama papa. Kak Glenn sering mengajakku ke luar untuk sekadar makan dan jalan-jalan. Kami sudah seperti kakak dan adik kandung.
“Sarah, kamu percaya akan adanya Tuhan?” tanyanya tiba-tiba.
Sontak kutahan tawaku, dan tanpa pikir panjang kujawab, “Iya jelas percaya. Memangnya siapa yang menciptakan dunia ini beserta asetnya kalau bukan Tuhan?”
Ia mengerutkan kening, “Kamu percaya?”
Aku menangguk mantab.
Kak Glenn menopang dagunya sambil menggelengkan kepala—terlihat tak sependapat denganku. “Aku tidak percaya.”
“Kenapa begitu?” Aku tak langsung percaya dengan pengakuan Kak Glenn. Bagaimana tidak, aku melihatnya sebagai seorang Buddhis yang sangat kental dengan ajaran agama. Lantas, apa yang mendasarinya menyatakan dirinya sebagai sosok yang tidak memercayai adanya Tuhan?
“Aku berpikir bahwa di dunia ini tidak ada Tuhan!”
Ah, pasti Kak Glenn bercanda, pikirku.
Kak Glenn memerhatikan raut wajah bingungku. Ia yang mengerti, hanya diam, memberikanku waktu berpikir. Setelah berpikir cukup keras, aku menarik kesimpulan bahwa—mungkin—Kak Glenn telah memilih jalan hidup menjadi seorang ateis. Aku sedikit tau tentang ateis. Dan kuharap kesimpulanku itu salah.
“Aku ateis,” ucapnya sambil tersenyum ke arahku seakan tahu isi pikiranku. Ah, baru saja aku ingin mengungkapkannya—hasil pikiran yang kurangkai beberapa detik yang lalu.
“Begini.” Ia merapikan tempat duduk. “Mamamu dan ayahku menikah di atas perbedaan. Mamamu muslim dan memilih pindah agama sesuai Agama Kristen yang dianut ayahku. Dan kamu tetap memilih menjadi seorang muslim. Mengapa?”
Dengan bangga kujawab, “Aku percaya dengan agama dan Tuhanku.”
Kak Glenn tertawa kecil. “Semua orang yang beragama pasti akan menjawab seperti itu. Maksudku, mengapa kamu lebih memilih islam ketika mamamu saja pindah agama. Kenapa kamu tidak mengikuti jejak mamamu saja?”
Aku lebih memilih diam. Memang, aku mengikuti papa untuk tetap menjadi muslim, namun kurasa bukan itu alasan terbesarnya. Lantas, mungkin karena seseorang—
“Kamu tahu, sejak kecil aku hidup dalam dua agama yang berbeda. Ayah pemeluk agama Kristen, dan ibuku pemeluk agama Buddha. Aku tidak tahu harus mengikuti jejak siapa. Pada akhirnya ketika usia delapan tahun, ibu memintaku menjadi seorang Buddhis agar adil. Sebab kakakku—kini tinggal bersama ibu—telah menjadi umat kristiani seperti ayah. Aku pun heran dengan pembagian anak versi mereka. Mengapa aku harus tinggal bersama ayah yang memeluk agama berbeda. Dan mengapa juga kakakku memilih tinggal bersama ibu yang beragama beda pula.” Kak Glenn tertawa pahit. “Kamu bisa bayangkan, bagaimana rasanya hidup seperti itu? Satu keluarga, namun berbeda keyakinan. Ibadah tak bisa bersama, tempat suci berbeda, apakah Tuhan kami pun berbeda?”
Baru pertama kali kulihat raut wajah itu. Kak Glenn yang selalu ceria—bahkan aku sempat menyangsikan apakah ia pernah bersedih—kini terlihat sangat murung. Tatapan kosongnya melukiskan kekosongan jiwanya.
Kak Glenn menunduk. “Jika saat ini aku masih menjadi seorang Buddhis, bagaimana aku bisa hidup dengan ayah dan mamamu yang menganut Agama Kristen? Aku tak bisa membayangkannya. Maka dari itu, aku memutuskan menjadi seorang ateis. Aku sudah muak dengan embel-embel agama yang dianut orang-orang.” Kak Glenn mengeluarkan sekotak rokok dari tasnya. “Kamu sudah melihat, kan, mereka beragama, namun seperti tidak beragama.”
“Mereka?” tanyaku memastikan.
“Ya, mamamu dan ayahku! Mereka beragama, namun seperti tak memiliki agama. Sebab agama dijadikan bak permainan. Kulihat hati mereka belum tergerak untuk menunaikan ibadah rutin mereka. Lalu apa bedanya umat beragama dengan kami para ateis yang tidak memercayai campur tangan Tuhan?”
Aku hanya garuk-garuk kepala, sebab kutahu pengetahuanku mengenai agama tak begitu luas. Aku takut salah memberi pendapat atau sanggahan. Logika Kak Glenn cukup kuat untuk itu. Bahkan lebih dari kuat untuk membungkam mulutku.
            Ia kembali menatapku, “Kamu beruntung hidup dalam keluarga dengan kepercayaan sama, hingga kamu bisa merasakan indahnya beragama.” Ia kembali tersenyum pahit. “Tapi kamu lihat, kan, sekarang. Mamamu menikah dengan ayahku, lalu melepas begitu saja agama yang dianut sebelumnya, persis seperti melepas papamu dan menceraikannya. Di saat-saat seperti itu, aku melihat agama seperti dijadikan sebuah permainan. Lucu sekali, bukan?”
            Entah mengapa, sejak saat itu aku mulai melangkah jauh meninggalkan seberkas cahaya itu, ialah agama, yang selama ini tertanam di jiwaku. Aku setuju dengan pola pikir Kak Glenn. Sebab aku termasuk orang yang cepat terpengaruh.
Sejurus kemudian, kubuka mataku setelah memejamkannya beberapa detik. Setelah membuka mata, kudapati diriku tengah berada di ratusan, jutaan, miliaran, bahkan triliunan simpangan yang tak terhingga jumlahnya. Kala itu aku memilih diam di tengah-tengah, dan menyaksikan orang-orang yang lalu lalang ke masing-masing persimpangan itu. Aku memilih diam, sebab kupikir di tengah lebih aman. Memasuki persimpangan itu belum pasti akan berujung pada keselamatan, pikirku.
            Hingga aku kembali ke kota ini beberapa minggu yang lalu.
***
            Menjelang masuk SMA, aku yang kala itu tengah tersesat di persimpangan, bertemu kembali dengan Fahri, si penunjuk jalanku. Kami bersekolah di tempat yang sama. Kesibukannya memaksa papa untuk mengikhlaskanku tinggal bersama mama pada awal SMA ini. Papa kerap kali meninggalkanku seorang diri di rumah bersama pembantu rumah tangga, karena pada tahun-tahun ini jadwalnya ke luar negeri sangat banyak.
Pada pertemuan pertamaku dengan Fahri setelah berpisah selama tiga tahun, ia bercerita betapa banyak pelajaran yang ia dapat setelah berpisah denganku. Ia menceritakanku tentang bermacam keajaiban yang Allah berikan padanya hingga menguatkan imannya. Fahri pun bercerita, di SMA nanti ia akan bergabung dengan Klub Rohis dan akan mencalonkan diri menjadi ketua.
Setelah pertemuanku dengan Fahri, menyeruaklah di dalam dadaku untuk mencari kembali cahaya yang telah hilang dari jiwaku.  Di sisi lain, pola pikir Kak Glenn telah memengaruhiku.
Walaupun simpangan itu satu persatu kulewati, belum juga kutemui seberkas cahaya yang kucari. Sempat terpikirkan olehku untuk menyudahi pencarian ini, namun rasa penasaranku yang tinggi membuatku tetap melakukannya.
            Aku muslim, entah aku masih termasuk golongan umat muslim apa tidak. Sebab sempat aku tak percaya akan adanya Tuhan. Ateis? Aku tidak ateis, sebab aku masih beribadah.
            Setiap hari aku tak pernah melewatkan solat lima waktu. Membaca Al-Qur’an ketika ada kesempatan. Rutin membaca Yasin setiap Jumat Pagi di sekolah. Semua kulakukan, sampai-sampai akupun beribadah menurut agama lain juga. Setiap Minggu pagi, aku rutin ke gereja yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggalku untuk mengikuti peribadatan umat kristiani. Kemudian setiap ada acara besar umat Hindu dan Buddha, aku tak pernah absen untuk turut serta. Itu semua kulakukan untuk mencari kebenaran akan adanya Tuhan. Tentu saja aku mengikuti peribatan dan acara besar itu secara diam-diam dan berusaha berpenampilan yang tak seperti biasanya agar tidak dikenali. Namun semakin aku mencari, semakin banyak simpangan yang mengitariku.
             Ingin rasanya kuceritakan pada Fahri mengenai diriku yang tengah tersesat di persimpangan ini. Namun tak kuat rasanya mengecewakan hati seseorang yang telah berkorban banyak untukku selama ini. Ia pula yang mengajariku mengaji ketika papa dan mama saja tidak begitu peduli dengan rohaniku—karena terfokus dengan pekerjaan mereka. Menceritakanku tentang kisah Nabi dan Rasul yang dikaguminya. Ah, mengingat itu semua membuat dadaku terasa sesak.
            “Ahad besok belajar bareng, yuk.” Setelah memesan dua mangkok bakso dan dua botol es teh, Fahri menghampiriku di meja kantin.
            “Boleh. Sore, ya!” ucapku sembari meniup uap yang mengepul di atas mangkok baksoku.
            “Kalau sore, aku ada acara kumpul bareng teman-teman SMP. Bagaimana kalau pagi saja?” tawarnya.
            Minggu Pagi merupakan jadwalku untuk ke gereja mengikuti peribadatan rutin umat Kristiani di daerahku. Tentu saja aku menolaknya. Kemudian kulihat raut wajah menyelidik Fahri.
            “Kamu kenapa, sih, setiap kuminta waktumu di Minggu Pagi, pasti kamu selalu menolak.”
            “Bukan apa-apa,” jawabku.
            Fahri terlihat belum puas dengan jawabanku, “Kalau bukan apa-apa, kenapa rutin sekali? Kamu sudah dua bulan di sini. Dan selama itu pula kamu selalu menolak setiap aku meminta waktumu pada Minggu Pagi.” Fahri menelengkan kepala. “Ah, ada yang tidak kamu ceritakan ke aku, ya?”
            “Tidak! Tidak mungkin. Kamu, kan, sahabatku. Mana mungkin ada yang tidak kuceritakan ke kamu,” jawabku, sedikit gugup.
            “Kuharap begitu.” Jawabnya.
            Kulihat keraguan di wajahnya. Ada rasa yang bergejolak di hatiku, yang menarikku untuk segera menceritakan diriku yang tengah tersesat ini kepada Fahri. Aku yakin, dia pasti punya solusi. Tapi aku takut. Entah ketakutan apa yang menjalar selama ini.
            “Fahri, bagaimana menurutmu mengenai kaum ateis?” Spontan, refleks, tanpa pikir panjang. Ah, aku menyesali pertanyaanku. Namun aku hanya mencoba memancing-mancing. Siapa tahu dengan menanyakan hal ini aku bisa segera jujur dengan Fahri.
            Fahri terlihat sedikit kaget. “Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?”
            “Aku hanya bertanya,” jawabku. “Untuk menguji pengetahuanmu tentang agama,” lanjutku sambil tertawa jahil, agar Fahri tidak curiga.
            “Setauku, ateis berasal dari Bahasa Yunani yaitu ‘alpha’ yang berarti tidak ada. Dan ‘Theos’ yang berarti Tuhan. Maka digabungkanlah dua kata itu menjadi ‘Atheos’ yang berarti tidak ada Tuhan.”
            Aku menyela ucapannya, “Fahri, aku tidak menanyakan sejarahnya. Yang kutanyakan bagaimana pandanganmu terhadap ateis?” Fahri selalu begini, ia suka membicarakan sesuatu secara panjang lebar, tidak langsung ke intinya.
            “Tadi kamu bilang ingin menguji pengetahuanku,” elaknya. Aku tahu, ia pasti ingin menunjukkan padaku mengenai pengetahuannya yang luas. Walaupun aku mengaguminya, tidak serta merta semua sifatnya kusukai. Aku kadang sebal jika ‘penyakit’ sombongnya mulai mucul.
            Aku menatapnya sebal, “Tidak usah banyak komentar, kamu paparkan saja pandanganmu mengenai ateis. Langsung ke intinya. Bisa seharian aku nungguin kamu cerita kalau kamu memaparkan dulu mengenai sejarah, asal mula, dan yang lainnya.”
            “Baiklah. Menurutku, pola pikir ateis itu seperti ini, ‘angkat tanganmu dan panjatkanlah doa kepada Tuhanmu dan mintalah kepada-Nya untuk mendatangkanmu segelas air. Jika air itu langsung ada di hadapanmu, baru saya akan langsung percaya akan adanya Tuhan.’ Begitulah nalar dan pola pikir ateis, menurutku,” jelas Fahri. Belum cukup jelas, pikirku.
            “Iya, benar juga, sih.”
            Fahri menelengkan kepala. “Maksudmu ‘benar’ itu apa? Kamu juga merasakannya?”
            “Ah, tidak. Aku ... Aku ... Aku, hanya membenarkan.” Ah, aku menjawab dengan terbata-bata. Semoga Fahri tidak curiga.
            Fahri mengangguk-anggukkan kepala, ia kemudian memperbaiki posisi duduknya. “Kaum ateis tidak memercayai segala sesuatu yang tidak tampak dan mustahil menurut mereka. Bahkan mungkin saja kaum ateis zaman dahulu tidak memercayai akan lahirnya teknologi yang memungkinkan mereka dan orang-orang di luar negeri dapat berkomunikasi dengan alat komunikasi yang bernama telepon. Sebab mereka mengutamakan logikanya untuk berpikir. Sementara kita tidak bisa hanya berpikir dengan logika. Dibutuhkanlah juga perasaan. Benar, kan?”
            Aku mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi menurutmu, menjadi kaum ateis itu pilihan yang salah?”
            “Tentu saja!” jawabnya mantab. “Jika terdapat kaum ateis di Indonesia, maka ia haruslah di usir dari negeri ini. Sebab dalam urusan agama, HAM tidak dilibatkan. Bukankah kewajiban beragama juga sudah dicantumkan dalam sila pertama dari Pancasila?”
            Namun, aku yang masih tersesat di persimpangan ini belum juga puas dengan jawaban itu. Ada yang masih menjanggal di benakku. “Lantas bagaimana dengan keberadaan Tuhan? Di dunia ini, kan, ada banyak agama dan kepercayaan. Masing-masing agama memercayai Tuhan mereka masing-masing dan menyembahnya dengan cara yang berb ...”
            Tiba-tiba Fahri memotong pembicaraanku, “Kamu tidak perlu menyembunyikannya lagi. Aku sudah tahu,” ucapnya dengan suara lemah, sambil mengacak-acak rambutnya. Terlihat kesedihan di matanya.
            “Mari ke gereja besok pagi. Lalu setelahnya ke Pura. Keesokan harinya ke Wihara—tempat peribadatan uman Buddha. Dan lusa ke Kelenteng—tempat peribadatan umat Konghucu. Aku akan membantumu mencari seberkas cahaya yang entah sejak kapan hilang dari jiwamu. Mari, aku akan membantumu!”
            Skakmat! Satu hal yang belum kusebutkan, bahwa Fahri adalah sosok pengamat yang handal. Ia dapat dengan cepat mengetahui perasaan dan keanehan yang terjadi pada seseorang dengan hanya melihat raut wajah dan tingkah lakunya. Fahri bahkan tidak segan-segan memata-matai subjek yang ia curigai. Dan aku melupakan satu hal itu. Ah, ingin rasanya aku menghilang dari hadapan Fahri sekarang juga. Aku tertangkap basah berbohong di depan Fahri, itu sangat memalukan. Dengan sifat yang mudah penasaran, tentu saja Fahri sudah mencari tahu perubahanku ini. Kupastikan pula ia pernah membuntutiku ke gereja maupun ke pura beberapa minggu ini.

Aku tahu Fahri kecewa. Aku tahu itu. Maka aku hanya dapat menunduk dalam-dalam, menyesali diriku yang telah membiarkan seberkas cahaya itu pergi begitu saja. Namun beruntung aku masih memiliki Fahri di sampingku. Dengan kejadian ini, aku dapat merasakan seberkas cahaya itu mulai mendekat ke arahku. Dan Fahri orang yang telah menariknya kembali perlahan-lahan memasuki sukmaku.
***