Selasa, 30 Juni 2015

LPCK untuk LPCK

            Siang ini entah mengapa terasa begitu membosankan. Mungkin karena persediaan film fantasi di laptopku yang telah habis. Ya, itu sudah pasti! Padahal biasanya setiap pagi hingga siang, bahkan kadang hingga sore, selama Bulan Ramadhan ini aku selalu berusaha menghilangkan rasa lapar di perut dengan menonton film-film bergenre fantasi. Namun hari ini semua film fantasi yang sengaja kupersiapkan untuk Bulan Ramadhan telah habis kutonton.
            Kebosanan ini menarikku untuk meraih modem di atas meja belajarku yang akhir-akhir ini jarang kugunakan. Lantas meng-connect-nya dan membuka youtube. Tujuan awalku sebenarnya ingin menonton kelanjutan episode American Tail yang belum habis kutonton karena belum mendownload episode berikutnya.
            Namun jari-jariku yang diiringi suara gemuruh di perut malah mengetik "Korean Street Food" untuk sekadar memuaskan mata melihat makanan-makanan menggiurkan di Korea Selatan. Aku tahu itu tidak baik di Bulan Ramadhan ini. Namun apa mau dikata, mata dan hati ingin dipuaskan dengan memandangi cantiknya makanan-makan khas Korea Selatan itu walau lidah dan perut harus menerima kenyataan bahwa itu hanyalah gambar yang tak berwujud tiga dimensi.
            Kemudian saat sedang asyik-asyiknya menjelajahi youtube, tiba-tiba aku mengingat janjiku pada postingan pertama yang kuikutkan dalam Training Blogger Indscript bersama Keju Kraft. [Baca : The Power of Love and Cheese]
Pada postingan itu aku menuliskan bahwa suatu hari aku ingin bisa seperti Viska yang dapat menyulap sekotak keju menjadi makanan penuh cinta untuk Sang Ibu. Tentu, aku iri dengan Viska. Maka dari itu, aku langsung merubah haluan. Tidak lagi tertarik dengan Korean Street Food. Namun mencari channel youtube Keju Kraft yang setauku banyak memposting video resep membuat hidangan berbahan keju.
            Setelah menimbang-nimbang resep yang sesuai isi kulkas, aku tertarik membuat Lumpia Tape Cokelat Keju seperti buatan Chef Marinka dalam video tutorial tersebut. Kebetulan di kulkas ada kulit lumpia yang dibeli ibuku tempo hari. Ada empat kotak Keju Kraft Cheddar yang dibeli ibu untuk membuat kue kering untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri. Ada pula bahan-bahan lainnya seperti cokelat. Namun sayang, tak ada tape. Mengingat ada banyak pisang yang dibawakan pamanku tempo hari, akhirnya aku berinisiatif mengganti tapenya dengan pisang. 
            Setelah sekian lama memberantakkan dapur, jadilah hidangan sederhanaku tersebut. Sayang, aku tak menghitung berapa lama aku menyelesaikan lima buah lumpia tersebut. Ya, hanya lima buah yang mampu kuselesaikan. Selain karena waktunya yang mepet, karena kebetulan tiga puluh menit kemudian aku harus berangkat ke tempat bimbel, aku juga takut nantinya ibuku terbangun. Kan, bukan surprise lagi jadinya kalau ibuku mengetahui perbuatanku ini terhadap dapur yang telah ia bersihkan itu. Dan, jadilah Lumpia Pisang Cokelat Keju ala Sari.


           Mungkin sekilas lumpia buatanku ini lebih terlihat seperti risoles. Itu karena aku menambahkan tepung roti di atasnya agar terasa lebih gurih. Kemudian aku menambahkan keju (lagi) di atasnya untuk mempercantik tampilannya dan memperenak rasanya. Namun sebenarnya di dalam lumpia ini bukanlah sayuran atau apapun yang biasanya terdapat di dalam risoles. Melainkan berisi pisang yang dibaluti keju dan cokelat yang sudah meleleh. Huh, melihat lumpia buatanku ini membuat tabuhan drum di perut semakin kencang. Dan aku berharap agar rasanya lebih lezat dari tampilannya.
         Lumpia ini lantas kuberi nama “Lumpia Pisang Cokelat Keju” hanya menggantai kata ‘tape’ menjadi ‘pisang’ saja. Butuh waktu lumayan lama bagiku untuk sekadar membuat lima buah lumpia tersebut, karena aku lumayan kesusahan ketika mengisi dan menggorengnya. Maklum, jika sedang membantu ibu memasak, aku paling enggan dalam hal menggoreng. Selain karena takut kena percikan minyak panas, juga aku sedikit takut menyalakan kompor gas lantaran banyak berita di televisi mengenai gas yang meledak, dll. Namun hari ini segalanya kutepis demi ibu. Tak ada salahnya sesekali membuatkan hidangan spesial untuk ibu meski sederhana, agar tak melulu ibuku saja yang membuat hidangan untuk anak-anaknya.

     Setelah semuanya siap, aku tak langsung membangunkan ibuku. Tentu saja aku akan membiarkannya menikmati tidur siangnya. Maka aku menyimpan lumpia tersebut ke dalam kulkas, setelah itu membersihkan dapur yang berantakan agar terlihat bersih seperti sebelumnya.
           Ah, iya, sebelumnya aku tak lupa untuk 'narsis' bersama lumpia buatanku ini.

Jika hasilnya sangat buram, itu karena aku memanfaatkan kameran laptopku untuk berfoto. Karena tak ada yang bisa dimintai tolong mengambilkan gambarnya.
         
          Aku sangat-sangat berterimakasih kepada Keju Kraft dan seluruh pihak yang ikut andil di dalamnya. Berkatnya dan berkat video-video resep masakannya di youtube, aku dapat merealisasikan janjiku ini kepada ibu yang sebelumnya aku tak yakin akan menepatinya.
               Untuk anak yang baru pertama kali membuatkan sesuatu yang spesial untuk ibunya tanpa bantuan siapapun, maka tak ada kata lain yang dapat menggambarkan perasaan hatiku hari ini selain 'bangga' karena dapat membuat sesuatu yang istimewa untuk ibu. Aku berharap ibu ketagihan dengan makanan yang kubuat sehingga nantinya, in shaa Allah, aku akan membuatkan ibu makanan lainnya yang berbahan Keju Kraft seperti yang ada di channel youtube Keju Kraft. Sebab ada banyak resep yang membuat air liur rasanya ingin tumpah, sayang masalahnya ada pada bahannya yang tidak tersedia di kulkas hari ini.
           Ah, iya! Sebelum aku benar-benar menutup postingan ini. Untuk masalah judul postingan. Mungkin, beberapa orang yang akan atau sedang membaca postinganku ini akan bertanya-tanya apa maksud dari judulnya. LPCK untuk LPCK? Atau sudah ada yang bisa menebak?
         Baiklah. Sebenarnya itu hanya singkatan saja untuk membuat pembaca penasaran dan akhirnya tergerak hatinya untuk membaca tulisanku ini. Tapi di sisi lain penggunaan singkatan itu disebabkan judul yang akan aku berikan ini terlalu panjang sehingga tidak mungkin dituliskan secara rinci. Beruntung kalimatnya berawalan huruf yang sama. Sehingga positiflah aku memberinya judul LPCK untuk LPCK.

"Lumpia Pisang Cokelat Keju untuk Luapkan Perasaan Cinta Untuknya"

Rabu, 24 Juni 2015

The Power of Love and Cheese

“I believe in love at first sight, because I love my mom since I opened my eyes.”– Anonim

Quote di atas merupakan salah satu quote yang paling aku ingat. Memang benar, cinta pertama kita adalah ibu kita sendiri. Ia adalah wanita yang pertama kali memberikan cinta dan kasih sayang yang paling tulus. Maka dari itu, sudah seharusnya kita membalas cinta dan kasih sayangnya selama ini dengan memberikan sesuatu yang terbaik yang dapat membuatnya bahagia. Seperti halnya Viska—sahabatku dari Mataram.
Empat hari yang lalu, tepatnya hari Sabtu, ia mengeluhkan bahwa puasanya di hari itu terpaksa harus ia batalkan. Sebab, sejak seminggu yang lalu ibunya kerap kali kesulitan untuk tidur sehingga terpaksa begadang hingga dini hari.
Pada Jumat malam, minggu lalu, lagi-lagi ibunya didera insomnia sehingga harus tidur sekitar pukul satu dini hari. Tentu saja hal itu berdampak bagi keluarganya. Keluarga kecil dengan anggota tiga orang tersebut—Viska, ayahnya, dan ibunya—terpaksa melewatkan jam makan sahur lantaran si ibu yang terlambat bangun, padahal biasanya sang ibu lah yang membangunkan mereka untuk sahur sekaligus yang menyiapkan hidangannya.
Viska yang pada Jumat malam tak memakan apapun selain hidangan buka puasa, terpaksa membatalkan puasanya pada Sabtu siang lantaran perutnya yang hanya diisi santapan buka puasa itu tak mampu menahan rasa lapar yang melanda.
Tak ingin kejadian serupa terulang kembali, Viska berinisiatif untuk menyalakan alarm pada Sabtu malam agar tidak melewati jam makan sahur untuk kedua kalinya. Benar saja, di hari itu Viska lebih dulu bangun daripada ibunya. Tak berniat membangunkan ibu dan ayahnya sepagi itu, ia mempersiapkan hidangan sahur sederhana; mie kuah, telur dadar, dan sambal beberoq khas Lombok. Setelah semuanya siap, barulah ia membangunkan sang ibu dan ayah.
Hari itu juga, pada sore harinya, Viska mendapat jawaban atas permasalahan ibunya yang akhir-akhir ini kesulitan untuk tidur. Ternyata, sang ibu dilanda stress ringan lantaran bisnis pakaiannya merosot setelah tertipu oleh agen penjual busana muslim di instagram beberapa minggu lalu.
Malam harinya sekitar pukul delapan, barulah Viska kembali mengirimiku pesan melalui BBM mengenai sang ibu. Mengetahui kejadian tersebut, tentu saja aku sebagai teman ingin membantu. Tiba-tiba aku mengingat pelajaran biologiku dulu saat duduk di kelas Sembilan SMP. Alhasil sebuah ide yang kuanggap ‘cemerlang’ melesat ke otakku.
Yap Keju!
Sekotak Keju Kraft yang kukirimi kepada Viska

Sekitar dua tahun lalu, saat masih duduk di bangku kelas Sembilan SMP. Guruku pernah berpesan untuk mengonsumsi keju atau makanan yang mengandung keju—bukan snack—pada saat mendekati Ujian Nasional. Karena selain rasanya yang enak dan gurih, keju juga menyimpan banyak kandungan gizi yang bermanfaat bagi tubuh. Diantaranya mengandung tryptophan, sejenis asam amino yang mampu meredakan stress dan membantu tidur agar pulas. Seperti yang kita ketahui, kadang Ujian Nasional dapat membuat stress dan tidur kurang nyenyak bagi sebagian pelajar, termasuk aku.
Berdasarkan pengalamanku itu, aku berpikir bahwa mungkin keju lah yang dibutuhkan oleh ibunya Viska. Mengingat di kulkas ada sekotak Keju Kraft Cheddar yang kubeli Senin malam—minggu lalu—untuk memenuhi syarat mengikuti ‎Kelas Training Blogger Indscript  bersama Keju Kraft. Senin pagi tanpa sepengetahuan Viska, aku pergi ke Kantor POS untuk mengirim sekotak Keju Kraft tersebut yang sebelumnya telah kuletakkan ke dalam sebuah kotak dan melapisi kotak tersebut dengan kertas kado. Memang hanya sekotak keju yang kukirimkan untuk Viska. Namun aku yakin, dengan sekotak Keju Kraft itu ditambah rasa cinta dan kasih sayang yang miliki Viska untuk ibunya, ia dapat menyulapnya menjadi sebuah hadiah sekaligus obat yang mujarab untuk ibunya.
Sore harinya, sampailah sekotak Keju Kraft tersebut ke rumah Viska. Tentu saja ia bertanya-tanya mengapa aku megiriminya sekotak keju. Setelah menjelaskan, tanpa kuduga sebelumnya, Viska memberi respon yang sangat positif. Menurutnya ideku untuk mengolah keju menjadi sebuah kue ataupun jenis makanan lainnya itu sangat cemerlang, mengingat sang ibu sangat menyukai keju. Pada hari itu juga, disulaplah sekotak Keju Kraft tersebut menjadi camilan yang kuyakini enak dan gurih ala Viska.
Butuh waktu sekitar tiga jam bagi Viska untuk menyelesaikan proses membuat camilan tersebut, mulai pukul lima sore hinga sekitar pukul delapan malam. Namun tentu saja waktu yang tiga jam tersebut dibarengi dengan selingan waktu berbuka dan lain sebagainya.
Tak ingin merasakan sendiri kelezatan camilan yang dilengkapi Keju Kraft tersebut, keesokan paginya Viska mengirimiku camilan tersebut.
Pada Selasa sore sekitar pukul 17.30, sampailah sekotak camilan itu ke tanganku. Dan barulah kuketahui camilan yang baru pertama kali kucicipi tersebut bernama “Nachos”, makanan khas meksiko yang terdiri dari Kripik Tortilla yang dimakan dengan dibaluti keju cair. Sayang, sesampainya di rumahku, kejunya sudah memadat. Namun aku tak mempermasalahkannya, sebab selama menggunakan Keju Kraft rasanya akan tetap enak dan gurih.

Nachos buatan Viska

Ternyata sekotak keju yang kukirimi tersebut berhasil disulap oleh Viska menjadi sebuah bukti cintanya kepada sang ibu.
Tak mau kalah dengan Viska dalam hal menabur kebahagiaan untuk ibu dengan sekotak Keju Kraft, akupun berencana membuat satu hidangan berbahan keju untuk ibuku. Mengingat keju mengandung banyak mineral sangat baik untuk melindungi gigi dari kerusakan, aku berharap dengan mengonsumsi Keju Kraft, gigi ibuku yang sudah mulai keropos dapat terlindungi. Maka, ibuku akan terus dapat merasakan masakanku tanpa takut dengan masalah giginya.

Inilah yang dinamakan, “The power of love and cheese.”


Minggu, 14 Juni 2015

Cerpen "Dalam Pelukan Tambora"


Gunung yang kini telah kehilangan sepertiga tubuhnya itu menyundul langit biru Sumbawa. Kawah raksasa berdiameter tujuh kilometer dengan kedalaman satu kilometer itu menjadi bukti kedahsyatan letusannya dua abad silam. Di tengahnya berdirilah si anak gunung, Doro Afi To’l.
Tambora. Fenomena alam yang menggemparkan dunia. Dinding kaldera—kawah raksasa—yang berlapis-lapis bak relief yang dipahat alami oleh alam menyisakan kenangan yang tak pernah terlupakan. Menyusuri dasar kaldera itu bagaikan menelusup menuju lapis demi lapis fenomena menakjubkan dua abad silam. Mendekapkan tubuh dan bermalam dalam hangatnya rahim Tambora itu bagaikan raga ini bak butiran pasir yang begitu kecil dalam cawan raksasa. Di sinilah berjuta kisah dunia dua abad silam terpendam. Terkubur bersama kisahku tiga tahun lalu.
***
            “Hei, Bima si Raja Kodok!”
            “Ah, bikin kaget aja!” Anak laki-laki berambut spike itu mengelus dada sambil memasang wajah kesal, karena kaget mendengar teriakanku secara tiba-tiba itu.
            “Maaf,” kataku menyesal. “Kamu kok kelihatan badmood hari ini?” Aku mengamati wajahnya yang kurang bersemangat. Tumben sekali Bima terlihat murung.
“Mmm. Put, kamu mau nggak, mmm. Anu. Itu. Ehmm,” Bima garuk-garuk kepala, seperti kesulitan merangkai kalimat yang akan diucapkannya.
            Bima menghembuskan napas sambil memejamkan mata. “Kamu mau nggak ke Tambora bareng aku?” Bima mengucapkannya sambil menutup mata, sedetik kemudian ia membuka mata sambil menunduk. Terlihat setetes keringat mengalir di pelipisnya.
Awalnya aku menolak ajakannya, namun setelah Bima menjelaskan bahwa kami akan pergi bersama tujuh orang lainnya, maka aku meng-iya-kan. Tak ada salahnya ke luar kota bersama sahabat yang telah menemaniku selama dua belas tahun ini. Lagi pula sebulan yang lalu kami hanya bergelut dengan buku-buku Ujian Nasional SMA, mungkin kali ini waktu yang tepat untuk melepas sejenak segala beban di pundak.
            Satu minggu kemudian setelah mendapat izin dari orang tua, akhirnya aku dan Bima memulai petualangan ini bersama tujuh orang lainnya—dua orang kakak sepupu Bima dan lima orang teman mereka. Pagi harinya kami langsung menyeberang menggunakan Kapal Ferri dari Pelabuhan Khayangan menuju Pelabuhan Poto Tano di Sumbawa Barat dengan memakan waktu sekitar dua setengah jam.
            Sebelum mendaki Puncak Tambora, Bima meminta untuk menuju Calabai—desa di ujung Teluk Saleh dan kemudian menuju Pulau Satonda. Nampaknya Bima telah lama ingin berkunjung ke Pulau Satonda yang di dalamnya terdapat danau air asin.
            Aku penasaran mengenai asinnya danau ini, lalu Bima langsung menjelaskan, “Letusan Tambora yang dahsyat itu menimbulkan tsunami yang dahsyat pula, sehingga diperkirakan asinnya air di danau ini karena tercampur air laut yang meluap. Tingkat keasinannya cukup tinggi. Kamu bisa langsung muntah kalau meminum air itu.”
            Aku menganggukkan kepala. “Pengetahuan kamu tentang sejarah memang keren, Bim. Jangan-jangan kamu mau mendaki Tambora karena baca buku sejarah?”
            Bima terdiam sejenak. “Nanti kamu tahu kok alasan aku ke sini dan ngajak kamu ikut bareng aku,” jawab Bima penuh misterius.
            “Ah, iya, kamu tau sejarah pulau ini?” tanya Bima. Aku menggelengkan kepala.
Bima mengubah posisi duduknya hingga kini berhadapan denganku. “Pulau Satonda merupakan Monumen Cinta Abadi Sang Bima dengan seekor Puteri Naga bersisik emas, lalu melahirkan Puteri Tasi Sari Naga,” jelasnya. “Aku jadi berkhayal suatu saat nanti membuat monumen cinta untuk seorang puteri yang aku cintai.”
            Sontak aku tertawa, “Kamu bisa jatuh cinta, Bim? Sama siapa?” tanyaku.
            Bima menatapku sambil tersenyum, “Nanti kamu tahu sendiri, kok.”
            Selanjutnya kami menuju Desa Pancasila dan Pintu Rimba. Dari sana, ada lima pos yang kami lalui dan bermalam di sana. Di pos empat, jalurnya ditumbuhi Tumbuhan Jelatang, tumbuhan berduri yang apabila diinjak akan terasa sakit seperti tersengat. Dan aku tak sengaja menginjaknya. Untung saja Mbak Mita—sepupu Bima—membawa kotak P3K dan segera mengobati kakiku. Walau begitu sakitnya masih terasa sehingga Bima bersedia menyumbangkan punggungnya dan segera menggendongku. Sedangkan tasku dan Bima dibawa oleh rombongan lainnya. Setelah melewati pos kelima, perjalanan berlanjut ke tebing untuk bermalam. Dari sana Puncak Tambora terlihat jelas. Perjalanan menuju Puncak Tambora kami lanjutkan sebelum fajar menyingsing.
Empat puluh menit kemudian, sampailah kami di Puncak Tambora. Sebelumnya aku bersikeras untuk menyudahi pendakian ini, entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak. Namun berkat Bima, aku memberanikan diri, sehingga kini sampailah aku di Puncak Tambora. Ini adalah perjalanan paling luar biasa yang pernah kulalui. Suhunya sangat dingin, matahari tertutup kabut tebal, meski begitu aku tetap bersemangat.
“Bang, turun ke kaldera, yuk!” ajak Bima kepada Bang Randi, sepupunya.
“Nunggu kabut menipis dulu, Bim,” jawabnya. Namun Bima tak sependapat.
“Langsung aja, Bang, mumpung masih pagi.” Bima tetap bersikeras dengan keinginannya. Aku, Bang Randi, dan yang lainnya tidak setuju. Selain itu Bima terlihat pucat, sepertinya karena suhunya yang dingin. “Put, kamu mau kan turun ke kaldera?”
“Nanti aja, Bim!” sahut yang lainnya.
“Abang-abang dan mbak-mbak, suhu segini itu nggak ada apa-apanya dibandingkan di Mount Everest. Katanya pengen mendaki Mount Everest, tapi suhu segini aja langsung nyerah.” Akhirnya mereka menyetujuinya, aku tak bisa menolak.
Entah mengapa ada rasa aneh yang bergejolak di hatiku, namun segera kutepis. Bang Randi memandu jalur yang harus dilewati. Perjalanan ke dasar kaldera diawali dengan melewati tiga tebing. Satu persatu dari kami mulai turun. Tebing pertama berhasil kulalui. Aku, Bang Reno, dan Mbak Mita baru saja mulai menuruni tebing kedua ketika Bang Randi dan Bima sudah mulai menuruni tebing ketiga yang lebih curam. Baru saja kuusap keringat yang mengalir di pelipisku ketika mendengar jeritan Bang Randi. Jantungku berdentum kencang. Kudengar Mbak Mita dan rombongan lain meneriaki nama Bima dengan lengkingan kencang. Aku menengok ke bawah.
“Bi... ma...” Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi, kakiku lemas dan tak kuat untuk berpijak, untung saja Bang Reno dengan sigap menopang tubuhku yang ambruk.
***
Sepuluh April, tepatnya dua abad setelah meletusnya gunung yang dulunya merupakan puncak tertinggi kedua di Indonesia ini, berhasil kutaklukkan untuk kedua kalinya. Dan untuk pertama kalinya aku berhasil turun ke dasar kaldera. Kaldera yang seharusnya kubenci, karena telah merenggut nyawa seseorang yang sangat kucintai. Namun, sekarang aku turun untuk menyapanya. Menyapa Tambora dan ruh Bima yang telah dibawanya untuk menghilang bersamanya, di dalam pelukan kawah raksasanya. Sekarang aku tahu alasan Bima ingin turun ke rahim Tambora ini, Sang Bima ingin menjadikannya monumen cinta untuk Sang Puteri. Sayang, Tambora mencemburuinya sehingga Tambora membawa ruh Bima menghilang dalam pelukan yang abadi.

Selasa, 09 Juni 2015

Sebutir Debu



Kadang aku menyerah pada hempasan angin. Membiarkannya menghempas rambutku dan membiarkan sebutir debu melesat ke mataku. 
Pada saat itu aku bingung. Ada dua pilihan; membiarkan mataku perih dan merelakan diriku merasakan sakit yang cukup lama namun berujung pada kesembuhan, atau menguceknya dengan jariku sehingga aku tak kesakitan lagi untuk sementara.
Kadang kala, aku salah memilih. Aku tak memikirkan risikonya terlebih dahulu. Kadang kala, aku tak memanfaatkan logikaku untuk berpikir. Kadang kala, hanya dengan perasaanlah aku memilih.
Pada akhirnya, aku menangis. Menyesali pilihan salah yang kuanggap tepat.

***

curhatan pelajar labil mengenai sebutir debu di tengah lapangan sekolah...