Senin, 27 Juli 2015

Aku yang Tersesat di Persimpangan

image by : rotihidup.blogspot.com

Pukul setengah lima sebelum fajar menyingsing, kulihat mama di ruang kerjanya sudah bergelut dengan tumpukkan kertas di hadapan laptop bermerek apple keluaran terbaru. Biasanya ayah tiriku menempati meja di samping meja kerja mama untuk sama-sama menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Tapi kebetulan ayah sedang bertugas di luar kota sehingga mama hanya seorang diri di ruangan itu bersama tumpukan kertas dan seperangkat alat elektronik. Memang dua orang yang gila bekerja.
            “Ma, bukannya mama harus ke gereja hari ini?” Aku menghampiri mama ke ruang kerjanya untuk memberikan secangkir teh hangat, berharap dapat menyegarkan otaknya yang selalu dipaksa untuk bekerja.
            Mama langsung menyeruput teh tersebut. “Mama sedang sibuk, sayang. Mungkin di lain waktu.” Selalu dengan jawaban yang sama dan dengan ekspresi yang sama; tanpa mengalihkan pandangan dari kertas di hadapannya. Mama seperti tidak berminat menjawab pertanyaanku. Seakan-akan tumpukan kertas tersebut jauh lebih menggairahkan.
***
Aku yang tersesat di persimpangan. Bukan simpang tiga maupun empat. Namun berjuta simpangan yang harus kulalui satu persatu untuk mencari keberadaan seberkas cahaya yang selama ini hilang dari jiwaku. Aku yang tersesat di persimpangan. Di antara jutaan jalan berkelok yang tak kuketahui ujungnya. Tak satupun peta—bahkan atlas—yang dapat menunjukkanku jalan mana yang dapat kulalui. Maka aku hanya akan terus mencari, mencari, dan mencari sebisaku, hingga aku yang tersesat ini dapat segera menemui seberkas cahaya itu.
            Terngiang kembali di telingaku percakapan dengan kakak tiriku satu tahun yang lalu. Percakapan yang telah membawaku ke tengah-tengah persimpangan ini, hingga aku benar-benar tersesat dan kehilangan seberkas cahaya itu.
            Minggu pagi setahun yang lalu, kakak tiriku mengajakku bertemu di sebuah rumah makan. Sebelumnya kami memang sudah saling mengenal dan cukup dekat, meskipun pada saat itu aku masih tinggal bersama papa. Kak Glenn sering mengajakku ke luar untuk sekadar makan dan jalan-jalan. Kami sudah seperti kakak dan adik kandung.
“Sarah, kamu percaya akan adanya Tuhan?” tanyanya tiba-tiba.
Sontak kutahan tawaku, dan tanpa pikir panjang kujawab, “Iya jelas percaya. Memangnya siapa yang menciptakan dunia ini beserta asetnya kalau bukan Tuhan?”
Ia mengerutkan kening, “Kamu percaya?”
Aku menangguk mantab.
Kak Glenn menopang dagunya sambil menggelengkan kepala—terlihat tak sependapat denganku. “Aku tidak percaya.”
“Kenapa begitu?” Aku tak langsung percaya dengan pengakuan Kak Glenn. Bagaimana tidak, aku melihatnya sebagai seorang Buddhis yang sangat kental dengan ajaran agama. Lantas, apa yang mendasarinya menyatakan dirinya sebagai sosok yang tidak memercayai adanya Tuhan?
“Aku berpikir bahwa di dunia ini tidak ada Tuhan!”
Ah, pasti Kak Glenn bercanda, pikirku.
Kak Glenn memerhatikan raut wajah bingungku. Ia yang mengerti, hanya diam, memberikanku waktu berpikir. Setelah berpikir cukup keras, aku menarik kesimpulan bahwa—mungkin—Kak Glenn telah memilih jalan hidup menjadi seorang ateis. Aku sedikit tau tentang ateis. Dan kuharap kesimpulanku itu salah.
“Aku ateis,” ucapnya sambil tersenyum ke arahku seakan tahu isi pikiranku. Ah, baru saja aku ingin mengungkapkannya—hasil pikiran yang kurangkai beberapa detik yang lalu.
“Begini.” Ia merapikan tempat duduk. “Mamamu dan ayahku menikah di atas perbedaan. Mamamu muslim dan memilih pindah agama sesuai Agama Kristen yang dianut ayahku. Dan kamu tetap memilih menjadi seorang muslim. Mengapa?”
Dengan bangga kujawab, “Aku percaya dengan agama dan Tuhanku.”
Kak Glenn tertawa kecil. “Semua orang yang beragama pasti akan menjawab seperti itu. Maksudku, mengapa kamu lebih memilih islam ketika mamamu saja pindah agama. Kenapa kamu tidak mengikuti jejak mamamu saja?”
Aku lebih memilih diam. Memang, aku mengikuti papa untuk tetap menjadi muslim, namun kurasa bukan itu alasan terbesarnya. Lantas, mungkin karena seseorang—
“Kamu tahu, sejak kecil aku hidup dalam dua agama yang berbeda. Ayah pemeluk agama Kristen, dan ibuku pemeluk agama Buddha. Aku tidak tahu harus mengikuti jejak siapa. Pada akhirnya ketika usia delapan tahun, ibu memintaku menjadi seorang Buddhis agar adil. Sebab kakakku—kini tinggal bersama ibu—telah menjadi umat kristiani seperti ayah. Aku pun heran dengan pembagian anak versi mereka. Mengapa aku harus tinggal bersama ayah yang memeluk agama berbeda. Dan mengapa juga kakakku memilih tinggal bersama ibu yang beragama beda pula.” Kak Glenn tertawa pahit. “Kamu bisa bayangkan, bagaimana rasanya hidup seperti itu? Satu keluarga, namun berbeda keyakinan. Ibadah tak bisa bersama, tempat suci berbeda, apakah Tuhan kami pun berbeda?”
Baru pertama kali kulihat raut wajah itu. Kak Glenn yang selalu ceria—bahkan aku sempat menyangsikan apakah ia pernah bersedih—kini terlihat sangat murung. Tatapan kosongnya melukiskan kekosongan jiwanya.
Kak Glenn menunduk. “Jika saat ini aku masih menjadi seorang Buddhis, bagaimana aku bisa hidup dengan ayah dan mamamu yang menganut Agama Kristen? Aku tak bisa membayangkannya. Maka dari itu, aku memutuskan menjadi seorang ateis. Aku sudah muak dengan embel-embel agama yang dianut orang-orang.” Kak Glenn mengeluarkan sekotak rokok dari tasnya. “Kamu sudah melihat, kan, mereka beragama, namun seperti tidak beragama.”
“Mereka?” tanyaku memastikan.
“Ya, mamamu dan ayahku! Mereka beragama, namun seperti tak memiliki agama. Sebab agama dijadikan bak permainan. Kulihat hati mereka belum tergerak untuk menunaikan ibadah rutin mereka. Lalu apa bedanya umat beragama dengan kami para ateis yang tidak memercayai campur tangan Tuhan?”
Aku hanya garuk-garuk kepala, sebab kutahu pengetahuanku mengenai agama tak begitu luas. Aku takut salah memberi pendapat atau sanggahan. Logika Kak Glenn cukup kuat untuk itu. Bahkan lebih dari kuat untuk membungkam mulutku.
            Ia kembali menatapku, “Kamu beruntung hidup dalam keluarga dengan kepercayaan sama, hingga kamu bisa merasakan indahnya beragama.” Ia kembali tersenyum pahit. “Tapi kamu lihat, kan, sekarang. Mamamu menikah dengan ayahku, lalu melepas begitu saja agama yang dianut sebelumnya, persis seperti melepas papamu dan menceraikannya. Di saat-saat seperti itu, aku melihat agama seperti dijadikan sebuah permainan. Lucu sekali, bukan?”
            Entah mengapa, sejak saat itu aku mulai melangkah jauh meninggalkan seberkas cahaya itu, ialah agama, yang selama ini tertanam di jiwaku. Aku setuju dengan pola pikir Kak Glenn. Sebab aku termasuk orang yang cepat terpengaruh.
Sejurus kemudian, kubuka mataku setelah memejamkannya beberapa detik. Setelah membuka mata, kudapati diriku tengah berada di ratusan, jutaan, miliaran, bahkan triliunan simpangan yang tak terhingga jumlahnya. Kala itu aku memilih diam di tengah-tengah, dan menyaksikan orang-orang yang lalu lalang ke masing-masing persimpangan itu. Aku memilih diam, sebab kupikir di tengah lebih aman. Memasuki persimpangan itu belum pasti akan berujung pada keselamatan, pikirku.
            Hingga aku kembali ke kota ini beberapa minggu yang lalu.
***
            Menjelang masuk SMA, aku yang kala itu tengah tersesat di persimpangan, bertemu kembali dengan Fahri, si penunjuk jalanku. Kami bersekolah di tempat yang sama. Kesibukannya memaksa papa untuk mengikhlaskanku tinggal bersama mama pada awal SMA ini. Papa kerap kali meninggalkanku seorang diri di rumah bersama pembantu rumah tangga, karena pada tahun-tahun ini jadwalnya ke luar negeri sangat banyak.
Pada pertemuan pertamaku dengan Fahri setelah berpisah selama tiga tahun, ia bercerita betapa banyak pelajaran yang ia dapat setelah berpisah denganku. Ia menceritakanku tentang bermacam keajaiban yang Allah berikan padanya hingga menguatkan imannya. Fahri pun bercerita, di SMA nanti ia akan bergabung dengan Klub Rohis dan akan mencalonkan diri menjadi ketua.
Setelah pertemuanku dengan Fahri, menyeruaklah di dalam dadaku untuk mencari kembali cahaya yang telah hilang dari jiwaku.  Di sisi lain, pola pikir Kak Glenn telah memengaruhiku.
Walaupun simpangan itu satu persatu kulewati, belum juga kutemui seberkas cahaya yang kucari. Sempat terpikirkan olehku untuk menyudahi pencarian ini, namun rasa penasaranku yang tinggi membuatku tetap melakukannya.
            Aku muslim, entah aku masih termasuk golongan umat muslim apa tidak. Sebab sempat aku tak percaya akan adanya Tuhan. Ateis? Aku tidak ateis, sebab aku masih beribadah.
            Setiap hari aku tak pernah melewatkan solat lima waktu. Membaca Al-Qur’an ketika ada kesempatan. Rutin membaca Yasin setiap Jumat Pagi di sekolah. Semua kulakukan, sampai-sampai akupun beribadah menurut agama lain juga. Setiap Minggu pagi, aku rutin ke gereja yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggalku untuk mengikuti peribadatan umat kristiani. Kemudian setiap ada acara besar umat Hindu dan Buddha, aku tak pernah absen untuk turut serta. Itu semua kulakukan untuk mencari kebenaran akan adanya Tuhan. Tentu saja aku mengikuti peribatan dan acara besar itu secara diam-diam dan berusaha berpenampilan yang tak seperti biasanya agar tidak dikenali. Namun semakin aku mencari, semakin banyak simpangan yang mengitariku.
             Ingin rasanya kuceritakan pada Fahri mengenai diriku yang tengah tersesat di persimpangan ini. Namun tak kuat rasanya mengecewakan hati seseorang yang telah berkorban banyak untukku selama ini. Ia pula yang mengajariku mengaji ketika papa dan mama saja tidak begitu peduli dengan rohaniku—karena terfokus dengan pekerjaan mereka. Menceritakanku tentang kisah Nabi dan Rasul yang dikaguminya. Ah, mengingat itu semua membuat dadaku terasa sesak.
            “Ahad besok belajar bareng, yuk.” Setelah memesan dua mangkok bakso dan dua botol es teh, Fahri menghampiriku di meja kantin.
            “Boleh. Sore, ya!” ucapku sembari meniup uap yang mengepul di atas mangkok baksoku.
            “Kalau sore, aku ada acara kumpul bareng teman-teman SMP. Bagaimana kalau pagi saja?” tawarnya.
            Minggu Pagi merupakan jadwalku untuk ke gereja mengikuti peribadatan rutin umat Kristiani di daerahku. Tentu saja aku menolaknya. Kemudian kulihat raut wajah menyelidik Fahri.
            “Kamu kenapa, sih, setiap kuminta waktumu di Minggu Pagi, pasti kamu selalu menolak.”
            “Bukan apa-apa,” jawabku.
            Fahri terlihat belum puas dengan jawabanku, “Kalau bukan apa-apa, kenapa rutin sekali? Kamu sudah dua bulan di sini. Dan selama itu pula kamu selalu menolak setiap aku meminta waktumu pada Minggu Pagi.” Fahri menelengkan kepala. “Ah, ada yang tidak kamu ceritakan ke aku, ya?”
            “Tidak! Tidak mungkin. Kamu, kan, sahabatku. Mana mungkin ada yang tidak kuceritakan ke kamu,” jawabku, sedikit gugup.
            “Kuharap begitu.” Jawabnya.
            Kulihat keraguan di wajahnya. Ada rasa yang bergejolak di hatiku, yang menarikku untuk segera menceritakan diriku yang tengah tersesat ini kepada Fahri. Aku yakin, dia pasti punya solusi. Tapi aku takut. Entah ketakutan apa yang menjalar selama ini.
            “Fahri, bagaimana menurutmu mengenai kaum ateis?” Spontan, refleks, tanpa pikir panjang. Ah, aku menyesali pertanyaanku. Namun aku hanya mencoba memancing-mancing. Siapa tahu dengan menanyakan hal ini aku bisa segera jujur dengan Fahri.
            Fahri terlihat sedikit kaget. “Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?”
            “Aku hanya bertanya,” jawabku. “Untuk menguji pengetahuanmu tentang agama,” lanjutku sambil tertawa jahil, agar Fahri tidak curiga.
            “Setauku, ateis berasal dari Bahasa Yunani yaitu ‘alpha’ yang berarti tidak ada. Dan ‘Theos’ yang berarti Tuhan. Maka digabungkanlah dua kata itu menjadi ‘Atheos’ yang berarti tidak ada Tuhan.”
            Aku menyela ucapannya, “Fahri, aku tidak menanyakan sejarahnya. Yang kutanyakan bagaimana pandanganmu terhadap ateis?” Fahri selalu begini, ia suka membicarakan sesuatu secara panjang lebar, tidak langsung ke intinya.
            “Tadi kamu bilang ingin menguji pengetahuanku,” elaknya. Aku tahu, ia pasti ingin menunjukkan padaku mengenai pengetahuannya yang luas. Walaupun aku mengaguminya, tidak serta merta semua sifatnya kusukai. Aku kadang sebal jika ‘penyakit’ sombongnya mulai mucul.
            Aku menatapnya sebal, “Tidak usah banyak komentar, kamu paparkan saja pandanganmu mengenai ateis. Langsung ke intinya. Bisa seharian aku nungguin kamu cerita kalau kamu memaparkan dulu mengenai sejarah, asal mula, dan yang lainnya.”
            “Baiklah. Menurutku, pola pikir ateis itu seperti ini, ‘angkat tanganmu dan panjatkanlah doa kepada Tuhanmu dan mintalah kepada-Nya untuk mendatangkanmu segelas air. Jika air itu langsung ada di hadapanmu, baru saya akan langsung percaya akan adanya Tuhan.’ Begitulah nalar dan pola pikir ateis, menurutku,” jelas Fahri. Belum cukup jelas, pikirku.
            “Iya, benar juga, sih.”
            Fahri menelengkan kepala. “Maksudmu ‘benar’ itu apa? Kamu juga merasakannya?”
            “Ah, tidak. Aku ... Aku ... Aku, hanya membenarkan.” Ah, aku menjawab dengan terbata-bata. Semoga Fahri tidak curiga.
            Fahri mengangguk-anggukkan kepala, ia kemudian memperbaiki posisi duduknya. “Kaum ateis tidak memercayai segala sesuatu yang tidak tampak dan mustahil menurut mereka. Bahkan mungkin saja kaum ateis zaman dahulu tidak memercayai akan lahirnya teknologi yang memungkinkan mereka dan orang-orang di luar negeri dapat berkomunikasi dengan alat komunikasi yang bernama telepon. Sebab mereka mengutamakan logikanya untuk berpikir. Sementara kita tidak bisa hanya berpikir dengan logika. Dibutuhkanlah juga perasaan. Benar, kan?”
            Aku mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi menurutmu, menjadi kaum ateis itu pilihan yang salah?”
            “Tentu saja!” jawabnya mantab. “Jika terdapat kaum ateis di Indonesia, maka ia haruslah di usir dari negeri ini. Sebab dalam urusan agama, HAM tidak dilibatkan. Bukankah kewajiban beragama juga sudah dicantumkan dalam sila pertama dari Pancasila?”
            Namun, aku yang masih tersesat di persimpangan ini belum juga puas dengan jawaban itu. Ada yang masih menjanggal di benakku. “Lantas bagaimana dengan keberadaan Tuhan? Di dunia ini, kan, ada banyak agama dan kepercayaan. Masing-masing agama memercayai Tuhan mereka masing-masing dan menyembahnya dengan cara yang berb ...”
            Tiba-tiba Fahri memotong pembicaraanku, “Kamu tidak perlu menyembunyikannya lagi. Aku sudah tahu,” ucapnya dengan suara lemah, sambil mengacak-acak rambutnya. Terlihat kesedihan di matanya.
            “Mari ke gereja besok pagi. Lalu setelahnya ke Pura. Keesokan harinya ke Wihara—tempat peribadatan uman Buddha. Dan lusa ke Kelenteng—tempat peribadatan umat Konghucu. Aku akan membantumu mencari seberkas cahaya yang entah sejak kapan hilang dari jiwamu. Mari, aku akan membantumu!”
            Skakmat! Satu hal yang belum kusebutkan, bahwa Fahri adalah sosok pengamat yang handal. Ia dapat dengan cepat mengetahui perasaan dan keanehan yang terjadi pada seseorang dengan hanya melihat raut wajah dan tingkah lakunya. Fahri bahkan tidak segan-segan memata-matai subjek yang ia curigai. Dan aku melupakan satu hal itu. Ah, ingin rasanya aku menghilang dari hadapan Fahri sekarang juga. Aku tertangkap basah berbohong di depan Fahri, itu sangat memalukan. Dengan sifat yang mudah penasaran, tentu saja Fahri sudah mencari tahu perubahanku ini. Kupastikan pula ia pernah membuntutiku ke gereja maupun ke pura beberapa minggu ini.

Aku tahu Fahri kecewa. Aku tahu itu. Maka aku hanya dapat menunduk dalam-dalam, menyesali diriku yang telah membiarkan seberkas cahaya itu pergi begitu saja. Namun beruntung aku masih memiliki Fahri di sampingku. Dengan kejadian ini, aku dapat merasakan seberkas cahaya itu mulai mendekat ke arahku. Dan Fahri orang yang telah menariknya kembali perlahan-lahan memasuki sukmaku.
***