Minggu, 14 Juni 2015

Cerpen "Dalam Pelukan Tambora"


Gunung yang kini telah kehilangan sepertiga tubuhnya itu menyundul langit biru Sumbawa. Kawah raksasa berdiameter tujuh kilometer dengan kedalaman satu kilometer itu menjadi bukti kedahsyatan letusannya dua abad silam. Di tengahnya berdirilah si anak gunung, Doro Afi To’l.
Tambora. Fenomena alam yang menggemparkan dunia. Dinding kaldera—kawah raksasa—yang berlapis-lapis bak relief yang dipahat alami oleh alam menyisakan kenangan yang tak pernah terlupakan. Menyusuri dasar kaldera itu bagaikan menelusup menuju lapis demi lapis fenomena menakjubkan dua abad silam. Mendekapkan tubuh dan bermalam dalam hangatnya rahim Tambora itu bagaikan raga ini bak butiran pasir yang begitu kecil dalam cawan raksasa. Di sinilah berjuta kisah dunia dua abad silam terpendam. Terkubur bersama kisahku tiga tahun lalu.
***
            “Hei, Bima si Raja Kodok!”
            “Ah, bikin kaget aja!” Anak laki-laki berambut spike itu mengelus dada sambil memasang wajah kesal, karena kaget mendengar teriakanku secara tiba-tiba itu.
            “Maaf,” kataku menyesal. “Kamu kok kelihatan badmood hari ini?” Aku mengamati wajahnya yang kurang bersemangat. Tumben sekali Bima terlihat murung.
“Mmm. Put, kamu mau nggak, mmm. Anu. Itu. Ehmm,” Bima garuk-garuk kepala, seperti kesulitan merangkai kalimat yang akan diucapkannya.
            Bima menghembuskan napas sambil memejamkan mata. “Kamu mau nggak ke Tambora bareng aku?” Bima mengucapkannya sambil menutup mata, sedetik kemudian ia membuka mata sambil menunduk. Terlihat setetes keringat mengalir di pelipisnya.
Awalnya aku menolak ajakannya, namun setelah Bima menjelaskan bahwa kami akan pergi bersama tujuh orang lainnya, maka aku meng-iya-kan. Tak ada salahnya ke luar kota bersama sahabat yang telah menemaniku selama dua belas tahun ini. Lagi pula sebulan yang lalu kami hanya bergelut dengan buku-buku Ujian Nasional SMA, mungkin kali ini waktu yang tepat untuk melepas sejenak segala beban di pundak.
            Satu minggu kemudian setelah mendapat izin dari orang tua, akhirnya aku dan Bima memulai petualangan ini bersama tujuh orang lainnya—dua orang kakak sepupu Bima dan lima orang teman mereka. Pagi harinya kami langsung menyeberang menggunakan Kapal Ferri dari Pelabuhan Khayangan menuju Pelabuhan Poto Tano di Sumbawa Barat dengan memakan waktu sekitar dua setengah jam.
            Sebelum mendaki Puncak Tambora, Bima meminta untuk menuju Calabai—desa di ujung Teluk Saleh dan kemudian menuju Pulau Satonda. Nampaknya Bima telah lama ingin berkunjung ke Pulau Satonda yang di dalamnya terdapat danau air asin.
            Aku penasaran mengenai asinnya danau ini, lalu Bima langsung menjelaskan, “Letusan Tambora yang dahsyat itu menimbulkan tsunami yang dahsyat pula, sehingga diperkirakan asinnya air di danau ini karena tercampur air laut yang meluap. Tingkat keasinannya cukup tinggi. Kamu bisa langsung muntah kalau meminum air itu.”
            Aku menganggukkan kepala. “Pengetahuan kamu tentang sejarah memang keren, Bim. Jangan-jangan kamu mau mendaki Tambora karena baca buku sejarah?”
            Bima terdiam sejenak. “Nanti kamu tahu kok alasan aku ke sini dan ngajak kamu ikut bareng aku,” jawab Bima penuh misterius.
            “Ah, iya, kamu tau sejarah pulau ini?” tanya Bima. Aku menggelengkan kepala.
Bima mengubah posisi duduknya hingga kini berhadapan denganku. “Pulau Satonda merupakan Monumen Cinta Abadi Sang Bima dengan seekor Puteri Naga bersisik emas, lalu melahirkan Puteri Tasi Sari Naga,” jelasnya. “Aku jadi berkhayal suatu saat nanti membuat monumen cinta untuk seorang puteri yang aku cintai.”
            Sontak aku tertawa, “Kamu bisa jatuh cinta, Bim? Sama siapa?” tanyaku.
            Bima menatapku sambil tersenyum, “Nanti kamu tahu sendiri, kok.”
            Selanjutnya kami menuju Desa Pancasila dan Pintu Rimba. Dari sana, ada lima pos yang kami lalui dan bermalam di sana. Di pos empat, jalurnya ditumbuhi Tumbuhan Jelatang, tumbuhan berduri yang apabila diinjak akan terasa sakit seperti tersengat. Dan aku tak sengaja menginjaknya. Untung saja Mbak Mita—sepupu Bima—membawa kotak P3K dan segera mengobati kakiku. Walau begitu sakitnya masih terasa sehingga Bima bersedia menyumbangkan punggungnya dan segera menggendongku. Sedangkan tasku dan Bima dibawa oleh rombongan lainnya. Setelah melewati pos kelima, perjalanan berlanjut ke tebing untuk bermalam. Dari sana Puncak Tambora terlihat jelas. Perjalanan menuju Puncak Tambora kami lanjutkan sebelum fajar menyingsing.
Empat puluh menit kemudian, sampailah kami di Puncak Tambora. Sebelumnya aku bersikeras untuk menyudahi pendakian ini, entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak. Namun berkat Bima, aku memberanikan diri, sehingga kini sampailah aku di Puncak Tambora. Ini adalah perjalanan paling luar biasa yang pernah kulalui. Suhunya sangat dingin, matahari tertutup kabut tebal, meski begitu aku tetap bersemangat.
“Bang, turun ke kaldera, yuk!” ajak Bima kepada Bang Randi, sepupunya.
“Nunggu kabut menipis dulu, Bim,” jawabnya. Namun Bima tak sependapat.
“Langsung aja, Bang, mumpung masih pagi.” Bima tetap bersikeras dengan keinginannya. Aku, Bang Randi, dan yang lainnya tidak setuju. Selain itu Bima terlihat pucat, sepertinya karena suhunya yang dingin. “Put, kamu mau kan turun ke kaldera?”
“Nanti aja, Bim!” sahut yang lainnya.
“Abang-abang dan mbak-mbak, suhu segini itu nggak ada apa-apanya dibandingkan di Mount Everest. Katanya pengen mendaki Mount Everest, tapi suhu segini aja langsung nyerah.” Akhirnya mereka menyetujuinya, aku tak bisa menolak.
Entah mengapa ada rasa aneh yang bergejolak di hatiku, namun segera kutepis. Bang Randi memandu jalur yang harus dilewati. Perjalanan ke dasar kaldera diawali dengan melewati tiga tebing. Satu persatu dari kami mulai turun. Tebing pertama berhasil kulalui. Aku, Bang Reno, dan Mbak Mita baru saja mulai menuruni tebing kedua ketika Bang Randi dan Bima sudah mulai menuruni tebing ketiga yang lebih curam. Baru saja kuusap keringat yang mengalir di pelipisku ketika mendengar jeritan Bang Randi. Jantungku berdentum kencang. Kudengar Mbak Mita dan rombongan lain meneriaki nama Bima dengan lengkingan kencang. Aku menengok ke bawah.
“Bi... ma...” Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi, kakiku lemas dan tak kuat untuk berpijak, untung saja Bang Reno dengan sigap menopang tubuhku yang ambruk.
***
Sepuluh April, tepatnya dua abad setelah meletusnya gunung yang dulunya merupakan puncak tertinggi kedua di Indonesia ini, berhasil kutaklukkan untuk kedua kalinya. Dan untuk pertama kalinya aku berhasil turun ke dasar kaldera. Kaldera yang seharusnya kubenci, karena telah merenggut nyawa seseorang yang sangat kucintai. Namun, sekarang aku turun untuk menyapanya. Menyapa Tambora dan ruh Bima yang telah dibawanya untuk menghilang bersamanya, di dalam pelukan kawah raksasanya. Sekarang aku tahu alasan Bima ingin turun ke rahim Tambora ini, Sang Bima ingin menjadikannya monumen cinta untuk Sang Puteri. Sayang, Tambora mencemburuinya sehingga Tambora membawa ruh Bima menghilang dalam pelukan yang abadi.