Kamis, 19 November 2015

REFRACTION #2 — Lelaki Hujan Bermata Hazel

***
            “Mama sudah bilang, hujan pertama itu tidak baik!” Mama kembali mengangkat handuk dari wadah berisi air dingin di meja di samping tempat tidurku. Kemudian untuk kesekian kalinya, ia kembali meletakkan handuk kecil tadi di atas keningku.
            “Aku nggak sengaja, Ma. Tadi di jalan nggak ada taksi. Ya, aku jalan kaki. Eh nggak taunya malah hujan,” elakku. Tentu saja aku berbohong. Mana mungkin aku memberitahu yang sebenarnya kalau aku sengaja tidak menyetop taksi dan memilih untuk menikmati hujan sore ini dengan ‘seseorang’ yang tiba-tiba menyeretku.
            “Ya sudah, besok-besok jangan diulangi lagi,” kata mama, kemudian meninggalkanku seorang diri di kamar.
            Aku meraih ponsel di samping tempat tidurku. Menyalakannya yang kemudian menampakkan angka 20:30 pada layarnya. Sial! Gara-gara si Lelaki Hujan tadi, aku jadi tidak bisa melancarkan aksi penguntitan malam ini. Padahal aku telah mempersiapkan semuanya. Termasuk menanggung malu di ruang perpustakaan tadi untuk menyelesaikan tugas yang tak mungkin bisa kuselesaikan malam ini jika jadi melancarkan aksi.
            Kuembuskan napas beberapa kali. Pikiranku kembali melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Lelaki Hujan yang tak kuketahui namanya itu berhasil merebut perhatianku. Mata hazelnya yang indah, postur tubuhnya yang tegap, dan suaranya yang lembut diiringi hujan sore tadi membuatku merasa nyaman seketika.
            Aku menggelengkan kepala berulang kali. Aku tidak boleh menyukainya di saat dia sendiri telah membuat rencanaku gagal total. Itu pertimbangan yang pertama. Pertimbangan yang kedua, dia telah membuatku demam sehingga tidak dapat masuk sekolah, dan tentu saja tidak dapat melihat Matahariku esok ini.
***
            Hari ini dalam sepiku, aku masih memikirkannya. Lebih tepatnya, memikirkan Lelaki Hujan yang telah mengalihkan perhatianku dalam sekejap.  Lelaki Hujan itu telah berhasil menyeret mundur Matahariku dalam waktu satu hari.
            Yap! Aku masih memanggilnya Lelaki Hujan. Hujan yang tiba-tiba turun di langitku tanpa tahu dari mana asalnya. Dia begitu misterius. Tak memberiku ruang untuk berpikir; ia menarik tanganku. Merasakan kesejukan alam di bawah rinai hujan sore kemarin. Ia menyeretku begitu saja, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ada hal yang lebih menarik untuk dijamah di luar sana.
Dari balik tirai hujan sore itu, kulihat lamat-lamat tiap-tiap ukiran tangan Tuhan tersebut. Mata hazelnya yang tajam bagaikan kutub magnet yang terus menarikku untuk menatapnya. Senyumnya, manis sekali. Bahkan aku berani bertaruh, jika senyuman itu diibaratkan sebagai gula, aku akan diabetes seketika pada lima menit pandangan pertama. Kemudian suaranya yang lembut ketika di halte, membuat indera pendengaranku terus saja memutar kembali rekamannya dalam memoriku.
Jika dinilai secara keseluruhan, aku dapat menyimpulkan bahwa wajahnya begitu menyejukkan. Tidak salah kuberi ia julukan sebagai ‘Lelaki Hujan’.
***
            Hari ini hujan kembali deras setelah reda beberapa menit. Dan di sinilah aku. Di halte depan sekolah, menunggu supirku datang menjemput. Setelah kejadian demam dua hari yang lalu, mama menjadi over protective.
            Aku masih mengulurkan tangan; mencoba menggapai-gapai setiap tetes demi tetes hujan siang ini. Menyejukkan. Rasanya tak ada yang lebih menyejukkan dari ini. Perpaduan dari melodi yang tercipta antara pantulan bulir-bulir hujan dengan aspal yang basah membuatku merasa nyaman. Pun bau khas petrikor tidak kalah menenangkan. Aku benar-benar mencintai hujan.
            Aku memejamkan mata dengan kedua tangan yang masih terulur.
            “Hai, Perempuan Pecinta Hujan!”
            Aku menelengkan kepala ke kanan ketika sebuah suara mengusik indera pendengaranku.
            DEG!
            Ia menyambut tatapanku dengan senyum yang masih sama seperti dua hari lalu. Seperti yang pernah kukatakan, matanya bagaikan kutub magnet yang terus saja menarik mataku untuk menatapnya. Seolah-olah terkunci, aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari matanya. Mata hazel yang begitu menenangkan bak hujan siang ini.
            Ia tertawa jahil. Cepat-cepat kualihkan pandangan darinya.
            “Aku sulit mengartikan tatapan itu. Tapi yang jelas, aku senang bertemu kamu lagi.” Ia menyunggingkan kembali senyuman mautnya. Membuat tubuhku membeku seketika. Tiba-tiba kurasakan hujan bagaikan salju yang menghantam tubuhku.
            Ia terlihat menunggu jawaban. Aku tak kunjung membalas ucapannya. Padahal jelas-jelas ia tak mengajukan pertanyaan. Maka kurasa tak ada jawaban yang perlu kuutarakan.
            “Jangan bersikap begitu! Terlihat jelas kalau kamu sedang salah tingkah.” Ia tersenyum jahil sebelum beralih duduk ke bangku halte di belakangku. Tepat di belakangku.
            Lagi-lagi, ucapannya tadi menampar telak ulu hatiku. Lelaki Hujan yang selama dua hari ini mengalihkan perhatianku. Lelaki Hujan yang terus-terusan memenuhi otakku. Yang membuatku merasakan kenyamanan baru, yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
            “Nggak capek berdiri terus?” Ia bertanya.
            Ini pertanyaan, maka kali ini aku harus menjawabnya. “Nggak!” jawabku sekenannya.
            “Ternyata tubuhmu cukup lemah. Baru terkena hujan saja langsung sakit,” ucapnya.
            Aku menatapnya dengan tatapan tidak suka. Laki-laki ini terus saja berucap seenaknya tanpa menyaring ucapannya terlebih dahulu. Menyesal aku telah mengelu-elukan dirinya dalam hatiku dua hari ini. Ternyata sifat aslinya mulai terlihat.
            “Aku hanya bercanda. Ternyata kamu mudah tersinggung, ya,” ucapnya lagi. lagi-lagi terdengar menyebalkan di telingaku. “Aku Regen.” Ia mengulurkan tangan ke arahku. Tiba-tiba saja ia sudah beranjak dari duduknya dan berdiri di sampingku.
            Entah apa yang menarik tanganku menjawab uluran tangan itu, aku membalas uluran tangannya. “Aku Pelangi,” balasku.
            Ia tersenyum manis. Tidak lagi terlihat sebagai sosok menyebalkan, namun lebih terlihat seperti Dewa Hujan yang siap menyejukkan Bumi.
“Meine Regenbogen,” ucapnya lembut sambil menatap kedua bola mataku.



*** [BERSAMBUNG] ***