Senin, 27 Juli 2015

Aku yang Tersesat di Persimpangan

image by : rotihidup.blogspot.com

Pukul setengah lima sebelum fajar menyingsing, kulihat mama di ruang kerjanya sudah bergelut dengan tumpukkan kertas di hadapan laptop bermerek apple keluaran terbaru. Biasanya ayah tiriku menempati meja di samping meja kerja mama untuk sama-sama menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Tapi kebetulan ayah sedang bertugas di luar kota sehingga mama hanya seorang diri di ruangan itu bersama tumpukan kertas dan seperangkat alat elektronik. Memang dua orang yang gila bekerja.
            “Ma, bukannya mama harus ke gereja hari ini?” Aku menghampiri mama ke ruang kerjanya untuk memberikan secangkir teh hangat, berharap dapat menyegarkan otaknya yang selalu dipaksa untuk bekerja.
            Mama langsung menyeruput teh tersebut. “Mama sedang sibuk, sayang. Mungkin di lain waktu.” Selalu dengan jawaban yang sama dan dengan ekspresi yang sama; tanpa mengalihkan pandangan dari kertas di hadapannya. Mama seperti tidak berminat menjawab pertanyaanku. Seakan-akan tumpukan kertas tersebut jauh lebih menggairahkan.
***
Aku yang tersesat di persimpangan. Bukan simpang tiga maupun empat. Namun berjuta simpangan yang harus kulalui satu persatu untuk mencari keberadaan seberkas cahaya yang selama ini hilang dari jiwaku. Aku yang tersesat di persimpangan. Di antara jutaan jalan berkelok yang tak kuketahui ujungnya. Tak satupun peta—bahkan atlas—yang dapat menunjukkanku jalan mana yang dapat kulalui. Maka aku hanya akan terus mencari, mencari, dan mencari sebisaku, hingga aku yang tersesat ini dapat segera menemui seberkas cahaya itu.
            Terngiang kembali di telingaku percakapan dengan kakak tiriku satu tahun yang lalu. Percakapan yang telah membawaku ke tengah-tengah persimpangan ini, hingga aku benar-benar tersesat dan kehilangan seberkas cahaya itu.
            Minggu pagi setahun yang lalu, kakak tiriku mengajakku bertemu di sebuah rumah makan. Sebelumnya kami memang sudah saling mengenal dan cukup dekat, meskipun pada saat itu aku masih tinggal bersama papa. Kak Glenn sering mengajakku ke luar untuk sekadar makan dan jalan-jalan. Kami sudah seperti kakak dan adik kandung.
“Sarah, kamu percaya akan adanya Tuhan?” tanyanya tiba-tiba.
Sontak kutahan tawaku, dan tanpa pikir panjang kujawab, “Iya jelas percaya. Memangnya siapa yang menciptakan dunia ini beserta asetnya kalau bukan Tuhan?”
Ia mengerutkan kening, “Kamu percaya?”
Aku menangguk mantab.
Kak Glenn menopang dagunya sambil menggelengkan kepala—terlihat tak sependapat denganku. “Aku tidak percaya.”
“Kenapa begitu?” Aku tak langsung percaya dengan pengakuan Kak Glenn. Bagaimana tidak, aku melihatnya sebagai seorang Buddhis yang sangat kental dengan ajaran agama. Lantas, apa yang mendasarinya menyatakan dirinya sebagai sosok yang tidak memercayai adanya Tuhan?
“Aku berpikir bahwa di dunia ini tidak ada Tuhan!”
Ah, pasti Kak Glenn bercanda, pikirku.
Kak Glenn memerhatikan raut wajah bingungku. Ia yang mengerti, hanya diam, memberikanku waktu berpikir. Setelah berpikir cukup keras, aku menarik kesimpulan bahwa—mungkin—Kak Glenn telah memilih jalan hidup menjadi seorang ateis. Aku sedikit tau tentang ateis. Dan kuharap kesimpulanku itu salah.
“Aku ateis,” ucapnya sambil tersenyum ke arahku seakan tahu isi pikiranku. Ah, baru saja aku ingin mengungkapkannya—hasil pikiran yang kurangkai beberapa detik yang lalu.
“Begini.” Ia merapikan tempat duduk. “Mamamu dan ayahku menikah di atas perbedaan. Mamamu muslim dan memilih pindah agama sesuai Agama Kristen yang dianut ayahku. Dan kamu tetap memilih menjadi seorang muslim. Mengapa?”
Dengan bangga kujawab, “Aku percaya dengan agama dan Tuhanku.”
Kak Glenn tertawa kecil. “Semua orang yang beragama pasti akan menjawab seperti itu. Maksudku, mengapa kamu lebih memilih islam ketika mamamu saja pindah agama. Kenapa kamu tidak mengikuti jejak mamamu saja?”
Aku lebih memilih diam. Memang, aku mengikuti papa untuk tetap menjadi muslim, namun kurasa bukan itu alasan terbesarnya. Lantas, mungkin karena seseorang—
“Kamu tahu, sejak kecil aku hidup dalam dua agama yang berbeda. Ayah pemeluk agama Kristen, dan ibuku pemeluk agama Buddha. Aku tidak tahu harus mengikuti jejak siapa. Pada akhirnya ketika usia delapan tahun, ibu memintaku menjadi seorang Buddhis agar adil. Sebab kakakku—kini tinggal bersama ibu—telah menjadi umat kristiani seperti ayah. Aku pun heran dengan pembagian anak versi mereka. Mengapa aku harus tinggal bersama ayah yang memeluk agama berbeda. Dan mengapa juga kakakku memilih tinggal bersama ibu yang beragama beda pula.” Kak Glenn tertawa pahit. “Kamu bisa bayangkan, bagaimana rasanya hidup seperti itu? Satu keluarga, namun berbeda keyakinan. Ibadah tak bisa bersama, tempat suci berbeda, apakah Tuhan kami pun berbeda?”
Baru pertama kali kulihat raut wajah itu. Kak Glenn yang selalu ceria—bahkan aku sempat menyangsikan apakah ia pernah bersedih—kini terlihat sangat murung. Tatapan kosongnya melukiskan kekosongan jiwanya.
Kak Glenn menunduk. “Jika saat ini aku masih menjadi seorang Buddhis, bagaimana aku bisa hidup dengan ayah dan mamamu yang menganut Agama Kristen? Aku tak bisa membayangkannya. Maka dari itu, aku memutuskan menjadi seorang ateis. Aku sudah muak dengan embel-embel agama yang dianut orang-orang.” Kak Glenn mengeluarkan sekotak rokok dari tasnya. “Kamu sudah melihat, kan, mereka beragama, namun seperti tidak beragama.”
“Mereka?” tanyaku memastikan.
“Ya, mamamu dan ayahku! Mereka beragama, namun seperti tak memiliki agama. Sebab agama dijadikan bak permainan. Kulihat hati mereka belum tergerak untuk menunaikan ibadah rutin mereka. Lalu apa bedanya umat beragama dengan kami para ateis yang tidak memercayai campur tangan Tuhan?”
Aku hanya garuk-garuk kepala, sebab kutahu pengetahuanku mengenai agama tak begitu luas. Aku takut salah memberi pendapat atau sanggahan. Logika Kak Glenn cukup kuat untuk itu. Bahkan lebih dari kuat untuk membungkam mulutku.
            Ia kembali menatapku, “Kamu beruntung hidup dalam keluarga dengan kepercayaan sama, hingga kamu bisa merasakan indahnya beragama.” Ia kembali tersenyum pahit. “Tapi kamu lihat, kan, sekarang. Mamamu menikah dengan ayahku, lalu melepas begitu saja agama yang dianut sebelumnya, persis seperti melepas papamu dan menceraikannya. Di saat-saat seperti itu, aku melihat agama seperti dijadikan sebuah permainan. Lucu sekali, bukan?”
            Entah mengapa, sejak saat itu aku mulai melangkah jauh meninggalkan seberkas cahaya itu, ialah agama, yang selama ini tertanam di jiwaku. Aku setuju dengan pola pikir Kak Glenn. Sebab aku termasuk orang yang cepat terpengaruh.
Sejurus kemudian, kubuka mataku setelah memejamkannya beberapa detik. Setelah membuka mata, kudapati diriku tengah berada di ratusan, jutaan, miliaran, bahkan triliunan simpangan yang tak terhingga jumlahnya. Kala itu aku memilih diam di tengah-tengah, dan menyaksikan orang-orang yang lalu lalang ke masing-masing persimpangan itu. Aku memilih diam, sebab kupikir di tengah lebih aman. Memasuki persimpangan itu belum pasti akan berujung pada keselamatan, pikirku.
            Hingga aku kembali ke kota ini beberapa minggu yang lalu.
***
            Menjelang masuk SMA, aku yang kala itu tengah tersesat di persimpangan, bertemu kembali dengan Fahri, si penunjuk jalanku. Kami bersekolah di tempat yang sama. Kesibukannya memaksa papa untuk mengikhlaskanku tinggal bersama mama pada awal SMA ini. Papa kerap kali meninggalkanku seorang diri di rumah bersama pembantu rumah tangga, karena pada tahun-tahun ini jadwalnya ke luar negeri sangat banyak.
Pada pertemuan pertamaku dengan Fahri setelah berpisah selama tiga tahun, ia bercerita betapa banyak pelajaran yang ia dapat setelah berpisah denganku. Ia menceritakanku tentang bermacam keajaiban yang Allah berikan padanya hingga menguatkan imannya. Fahri pun bercerita, di SMA nanti ia akan bergabung dengan Klub Rohis dan akan mencalonkan diri menjadi ketua.
Setelah pertemuanku dengan Fahri, menyeruaklah di dalam dadaku untuk mencari kembali cahaya yang telah hilang dari jiwaku.  Di sisi lain, pola pikir Kak Glenn telah memengaruhiku.
Walaupun simpangan itu satu persatu kulewati, belum juga kutemui seberkas cahaya yang kucari. Sempat terpikirkan olehku untuk menyudahi pencarian ini, namun rasa penasaranku yang tinggi membuatku tetap melakukannya.
            Aku muslim, entah aku masih termasuk golongan umat muslim apa tidak. Sebab sempat aku tak percaya akan adanya Tuhan. Ateis? Aku tidak ateis, sebab aku masih beribadah.
            Setiap hari aku tak pernah melewatkan solat lima waktu. Membaca Al-Qur’an ketika ada kesempatan. Rutin membaca Yasin setiap Jumat Pagi di sekolah. Semua kulakukan, sampai-sampai akupun beribadah menurut agama lain juga. Setiap Minggu pagi, aku rutin ke gereja yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggalku untuk mengikuti peribadatan umat kristiani. Kemudian setiap ada acara besar umat Hindu dan Buddha, aku tak pernah absen untuk turut serta. Itu semua kulakukan untuk mencari kebenaran akan adanya Tuhan. Tentu saja aku mengikuti peribatan dan acara besar itu secara diam-diam dan berusaha berpenampilan yang tak seperti biasanya agar tidak dikenali. Namun semakin aku mencari, semakin banyak simpangan yang mengitariku.
             Ingin rasanya kuceritakan pada Fahri mengenai diriku yang tengah tersesat di persimpangan ini. Namun tak kuat rasanya mengecewakan hati seseorang yang telah berkorban banyak untukku selama ini. Ia pula yang mengajariku mengaji ketika papa dan mama saja tidak begitu peduli dengan rohaniku—karena terfokus dengan pekerjaan mereka. Menceritakanku tentang kisah Nabi dan Rasul yang dikaguminya. Ah, mengingat itu semua membuat dadaku terasa sesak.
            “Ahad besok belajar bareng, yuk.” Setelah memesan dua mangkok bakso dan dua botol es teh, Fahri menghampiriku di meja kantin.
            “Boleh. Sore, ya!” ucapku sembari meniup uap yang mengepul di atas mangkok baksoku.
            “Kalau sore, aku ada acara kumpul bareng teman-teman SMP. Bagaimana kalau pagi saja?” tawarnya.
            Minggu Pagi merupakan jadwalku untuk ke gereja mengikuti peribadatan rutin umat Kristiani di daerahku. Tentu saja aku menolaknya. Kemudian kulihat raut wajah menyelidik Fahri.
            “Kamu kenapa, sih, setiap kuminta waktumu di Minggu Pagi, pasti kamu selalu menolak.”
            “Bukan apa-apa,” jawabku.
            Fahri terlihat belum puas dengan jawabanku, “Kalau bukan apa-apa, kenapa rutin sekali? Kamu sudah dua bulan di sini. Dan selama itu pula kamu selalu menolak setiap aku meminta waktumu pada Minggu Pagi.” Fahri menelengkan kepala. “Ah, ada yang tidak kamu ceritakan ke aku, ya?”
            “Tidak! Tidak mungkin. Kamu, kan, sahabatku. Mana mungkin ada yang tidak kuceritakan ke kamu,” jawabku, sedikit gugup.
            “Kuharap begitu.” Jawabnya.
            Kulihat keraguan di wajahnya. Ada rasa yang bergejolak di hatiku, yang menarikku untuk segera menceritakan diriku yang tengah tersesat ini kepada Fahri. Aku yakin, dia pasti punya solusi. Tapi aku takut. Entah ketakutan apa yang menjalar selama ini.
            “Fahri, bagaimana menurutmu mengenai kaum ateis?” Spontan, refleks, tanpa pikir panjang. Ah, aku menyesali pertanyaanku. Namun aku hanya mencoba memancing-mancing. Siapa tahu dengan menanyakan hal ini aku bisa segera jujur dengan Fahri.
            Fahri terlihat sedikit kaget. “Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?”
            “Aku hanya bertanya,” jawabku. “Untuk menguji pengetahuanmu tentang agama,” lanjutku sambil tertawa jahil, agar Fahri tidak curiga.
            “Setauku, ateis berasal dari Bahasa Yunani yaitu ‘alpha’ yang berarti tidak ada. Dan ‘Theos’ yang berarti Tuhan. Maka digabungkanlah dua kata itu menjadi ‘Atheos’ yang berarti tidak ada Tuhan.”
            Aku menyela ucapannya, “Fahri, aku tidak menanyakan sejarahnya. Yang kutanyakan bagaimana pandanganmu terhadap ateis?” Fahri selalu begini, ia suka membicarakan sesuatu secara panjang lebar, tidak langsung ke intinya.
            “Tadi kamu bilang ingin menguji pengetahuanku,” elaknya. Aku tahu, ia pasti ingin menunjukkan padaku mengenai pengetahuannya yang luas. Walaupun aku mengaguminya, tidak serta merta semua sifatnya kusukai. Aku kadang sebal jika ‘penyakit’ sombongnya mulai mucul.
            Aku menatapnya sebal, “Tidak usah banyak komentar, kamu paparkan saja pandanganmu mengenai ateis. Langsung ke intinya. Bisa seharian aku nungguin kamu cerita kalau kamu memaparkan dulu mengenai sejarah, asal mula, dan yang lainnya.”
            “Baiklah. Menurutku, pola pikir ateis itu seperti ini, ‘angkat tanganmu dan panjatkanlah doa kepada Tuhanmu dan mintalah kepada-Nya untuk mendatangkanmu segelas air. Jika air itu langsung ada di hadapanmu, baru saya akan langsung percaya akan adanya Tuhan.’ Begitulah nalar dan pola pikir ateis, menurutku,” jelas Fahri. Belum cukup jelas, pikirku.
            “Iya, benar juga, sih.”
            Fahri menelengkan kepala. “Maksudmu ‘benar’ itu apa? Kamu juga merasakannya?”
            “Ah, tidak. Aku ... Aku ... Aku, hanya membenarkan.” Ah, aku menjawab dengan terbata-bata. Semoga Fahri tidak curiga.
            Fahri mengangguk-anggukkan kepala, ia kemudian memperbaiki posisi duduknya. “Kaum ateis tidak memercayai segala sesuatu yang tidak tampak dan mustahil menurut mereka. Bahkan mungkin saja kaum ateis zaman dahulu tidak memercayai akan lahirnya teknologi yang memungkinkan mereka dan orang-orang di luar negeri dapat berkomunikasi dengan alat komunikasi yang bernama telepon. Sebab mereka mengutamakan logikanya untuk berpikir. Sementara kita tidak bisa hanya berpikir dengan logika. Dibutuhkanlah juga perasaan. Benar, kan?”
            Aku mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi menurutmu, menjadi kaum ateis itu pilihan yang salah?”
            “Tentu saja!” jawabnya mantab. “Jika terdapat kaum ateis di Indonesia, maka ia haruslah di usir dari negeri ini. Sebab dalam urusan agama, HAM tidak dilibatkan. Bukankah kewajiban beragama juga sudah dicantumkan dalam sila pertama dari Pancasila?”
            Namun, aku yang masih tersesat di persimpangan ini belum juga puas dengan jawaban itu. Ada yang masih menjanggal di benakku. “Lantas bagaimana dengan keberadaan Tuhan? Di dunia ini, kan, ada banyak agama dan kepercayaan. Masing-masing agama memercayai Tuhan mereka masing-masing dan menyembahnya dengan cara yang berb ...”
            Tiba-tiba Fahri memotong pembicaraanku, “Kamu tidak perlu menyembunyikannya lagi. Aku sudah tahu,” ucapnya dengan suara lemah, sambil mengacak-acak rambutnya. Terlihat kesedihan di matanya.
            “Mari ke gereja besok pagi. Lalu setelahnya ke Pura. Keesokan harinya ke Wihara—tempat peribadatan uman Buddha. Dan lusa ke Kelenteng—tempat peribadatan umat Konghucu. Aku akan membantumu mencari seberkas cahaya yang entah sejak kapan hilang dari jiwamu. Mari, aku akan membantumu!”
            Skakmat! Satu hal yang belum kusebutkan, bahwa Fahri adalah sosok pengamat yang handal. Ia dapat dengan cepat mengetahui perasaan dan keanehan yang terjadi pada seseorang dengan hanya melihat raut wajah dan tingkah lakunya. Fahri bahkan tidak segan-segan memata-matai subjek yang ia curigai. Dan aku melupakan satu hal itu. Ah, ingin rasanya aku menghilang dari hadapan Fahri sekarang juga. Aku tertangkap basah berbohong di depan Fahri, itu sangat memalukan. Dengan sifat yang mudah penasaran, tentu saja Fahri sudah mencari tahu perubahanku ini. Kupastikan pula ia pernah membuntutiku ke gereja maupun ke pura beberapa minggu ini.

Aku tahu Fahri kecewa. Aku tahu itu. Maka aku hanya dapat menunduk dalam-dalam, menyesali diriku yang telah membiarkan seberkas cahaya itu pergi begitu saja. Namun beruntung aku masih memiliki Fahri di sampingku. Dengan kejadian ini, aku dapat merasakan seberkas cahaya itu mulai mendekat ke arahku. Dan Fahri orang yang telah menariknya kembali perlahan-lahan memasuki sukmaku.
***

Minggu, 26 Juli 2015

Pelangi Tanpa Warna



Aku menyebut diriku sebagai pelangi. Pelangi di musim hujan yang tak mampu terbiaskan, sebab hujan tak kunjung turun di langitku. Di langit di mana aku berdiri dan bersembunyi di balik awan. Alhasil, jadilah aku pelangi yang tak berwarna. Hanya mampu menunggu, menunggu, dan menunggu suatu hari nanti ada hujan yang turun di langitku.
Melihat bulan di langit temaram yang dikelilingi bintang membuatku iri. Begitu menyenangkan rasanya mewarnai hari dengan seseorang yang spesial di hati. Maka terbersit dalam angan untuk mencari keberadaan sang hujan. Sang penyegar yang mampu membiaskan warna-warnaku, agar tak lagi abu-abu. Namun, semakin aku mencari, semakin jauh rasanya hujan itu pergi. Maka dari itu, lagi-lagi, aku hanya mampu menunggu. Sampai datanglah hari ini.
Hari ini aku bersama Toni—teman satu kamarku di Asrama Pondok Pesantren ini—ditugaskan untuk mengganti genteng yang bocor di MTs yang masih satu atap dengan MA tempatku menuntut ilmu. Kami bertugas mengganti genteng yang bocor di kelas putri. Awalnya aku agak ragu, namun semuanya berhasil kutepis.
Aku berjalan di koridor kelas santri putri itu dengan membawa beberapa genteng yang masih baru. Sedangkan Toni membawa tangga setinggi tiga meter. Saat sampai di daun pintu kelas yang kami tuju, aku melihat sekelompok santri putri yang tengah tertawa lepas. Dari sekumpulan santri putri itu, kulihat seorang anak perempuan yang melepaskan jilbabnya sehingga tergerailah rambut hitam panjangnya.
Aku menatapnya lamat-lamat. Bak dentuman bedug dari beribu masjid yang disatukan, aku dapat mendengar dengan jelas jantungku berdentum kencang tak karuan. Aku baru menyadari bahwa ia teramat cantik. Dengan wajah yang natural dan rambut panjang yang terawat, ia bagaikan bidadari yang terlahir ke Bumi. Entah mengapa, sejak saat itu, aku  merasa langitku sudah mulai mendung. Artinya, sebentar lagi akan datang hujan yang akan membiaskan warna-warnaku, dan aku harap dialah hujanku.
“Woy, Rian, cepetan!” Lengkingan suara Toni tak kugubris. Aku masih saja asyik memandangi ukiran tangan Tuhan itu, Mahakarya Tuhan yang begitu indah, wajahnya.
Berbeda denganku, mendengar lengkingan suara Toni membuat si objek yang kupandang mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Saat pandangannya diedarkan ke daun pintu, ia melihatku. Menyadari keberaan kami, ia bergegas memasang jilbab merah mudanya.
“Rian!” panggil Toni lagi dengan suara yang dinaikkan satu oktaf. Aku langsung menuju ke arah Toni, tak ingin mendengar suara toa enam oktafnya memasuki gendang telingaku lagi. Lantas aku langsung meletakkan tiga buah genteng yang kubawa tadi di bangku panjang di depan kelas tersebut, kemudian memegangi tangga yang mulai dinaiki Toni agar tak goyang. Dari posisiku sekarang, aku masih bisa mencuri-curi pandang ke arahnya karena masih berada di depan kelasnya.
“Rian, gentengnya!” Aku langsung melemparkan satu buah genteng kepada Toni. Dengan cekatan, ia berhasil menangkap genteng tersebut. Seandainya hari ini juga aku dapat menangkap hati perempuan berjilbab merah muda itu. Aku akan menangkapnya dengan cekatan, lebih dari Toni saat menangkap genteng. Ah, bagaimana mungkin. Bahkan aku tidak tahu apakah ia menyukaiku atau tidak.
***
            Langit telah menggelap, cahaya bintang pun telah berpendar di sekeliling bulan. Namun, banyang-banyangnya belum juga sirna dari pikiranku. Dia bagaikan hujan yang tiba-tiba turun mengguyur tubuhku. Sayang, saat ini aku masih bersembunyi di balik awan. Belum memiliki keberanian untuk jujur mengenai perasaanku. Aku takut, sebab ada dua kemungkinan yang kudapat jika berterus terang dengannya mengenai perasaan ini; diterima atau ditolak.
            “Rian, kamu kenapa sih, sejak kembali dari kelas santri putri melamun terus?” Toni memecah keheningan dengan pertanyaan yang sama sekali tak ingin kujawab.
            “Nggak kenapa-kenapa! Biasa aja.”
            “Jangan bohong! Aku sudah lama kenal kamu. Aku tahu arti dari sejuta ekspresi wajahmu. Dan hari ini aku simpulkan, bahwa ekspresimu kali ini menunjukkan bahwa kamu sedang dilanda kegalauan.”
            “Kamu sok tahu!” Aku masih bisa mengelak. Padahal dalam hati, aku membenarkan asumsi Toni.
            “Sudah ketahuan masih saja nggak mau ngaku! Tadi siang kamu mandangin Ratna di kelasnya, kan? Sampai-sampai panggilanku nggak kamu gubris.” Skak mat! Toni telah mengetahui semuanya.
            “Kalau suka langsung tembak saja, Ian!” ucapnya lagi.
            Aku melempar bantal ke arahnya. “Kamu sih gampang ngomong begitu. Tapi aku yang jalanin. Kalau ditolak, gimana?”
            “Aku berani bertaruh, jika malam ini kamu nembak dia, malam ini pula jawaban ‘iya’ akan kamu dapatkan!” jawab Toni yakin. Terdengar begitu yakin. Lantas, apa yang membuatnya seyakin itu.
            “Tuh kan, kamu sok tahu lagi!”
            Toni menghampiriku, ia menepuk pundakku. “Makanya jadi orang jangan terlalu fokus ke tumpukkan buku biologi saja! Begini kan jadinya, ada cewek cantik yang naksir malah nggak diketahui.”
            Aku belum sepenuhnya percaya dengan pernyataan Toni. Ratna, hujanku, menyukaiku? Sejak kapan? Bagaimana bisa? Tiba-tiba saja berjuta pertanyaan menyeruak di otakku. Namun hanya satu jawaban yang kuinginkan. Jawaban bahwa sang hujan bersedia membiaskan pelangi agar tak lagi abu-abu.
***
            Benar saja, keesokan harinya, dengan bantuan Toni dan Sofia—teman Ratna—aku berhasil bertemu dengannya di taman belakang sekolah. Karena kami memegang teguh ajaran agama, maka kami pun mempersilakan Toni dan Sofia untuk bergabung, tentu dengan jarak satu meter dari aku dan Ratna.
            Di depan Ratna, entah mengapa kata-kata yang kurangkai semalaman tak kunjung keluar. Lidahku kelu, tubuhku seakan berada di Kutub Utara dan terserang hipotermia, setetes keringat dingin pun mulai mengalir di pelipisku.
            Ratna yang melihatku salah tingkah begitu malah tertawa kecil. “Kakak kenapa?” tanyanya polos. Ah, bagaimana mungkin ia tak tahu. Bukankah sudah jelas bahwa aku sedang gugup.
            “Mmm, gini, Rat.” Aku menggaruk-garuk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. “Aduh, gimana ngomongnya, ya?”
            “Kakak langsung ngomong aja.”
            Hari itu juga aku langsung mengutarakan semuanya pada Ratna. Memang ucapanku agak terputus-putus. Namun tak kuduga, Ratna menjawabnya dengan tidak terputus-putus. Dengan yakin ia menerima ajakanku itu. Benar kata Toni, Ratna telah lama menyukaiku. Hanya saja aku yang kurang peka ini tidak mengetahui bahwa benih-benih cinta telah lama ditanamkan Ratna kepadaku.
            Sejak hari itu. Sejak hari dimana aku berusaha jujur dengan perasaanku. Sekaligus hari dimana Ratna menerima ajakanku untuk memulai sebuah hubungan. Aku menemukan hujanku. Sesuai harapan, Ratna lah sang hujan yang mampu mewarnai hari-hariku.
            Hari setelah insiden pernyataan cinta, menjadi hari yang lebih berwarna. Kini, pelangi tak lagi abu-abu. Sebab di musim hujan tahun ini, pelangi telah memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan melihat langit luar. Hujan lah yang telah berhasil menarik pelangi dari balik awan, lantas hujan pula yang telah membiaskannya hingga sempurnalah ketujuh warnanya.
            Dua minggu setelah kami menetapkan hubungan, aku mulai sering mengajak Ratna bertemu di taman belakang. Tentu, aku tak luput membawa Toni agar tidak timbul berita yang macam-macam. Namun, kami selalu memisahkan diri dari Toni dan Sofia.
Bertemu dan mengobrol dengan Ratna tak pernah membuatku bosan. Ratna terlihat semakin cantik dari hari ke hari. Wajah natural tanpa polesan make up membuatnya semakin terlihat cantik. Memang benar-benar seperti bidadari yang sengaja diturunkan Tuhan ke Bumi. Betapa beruntungnya aku karena berhasil menangkap hatinya, yang tak kuduga bisa secepat ini.
            Hari-hari berikutnya kami jalani dengan baik. Aku dan Ratna memiliki kecocokan, sehingga setiap percakapan yang tercipta terasa mengalir dan tak ada putusnya. Bahkan kadang Toni dan Sofia yang kerap kami mintai tolong ketika melakukan pertemuan merasa sebal karena terlalu lama menunggu.
***
             “Rian! Rian, bangun, Ian!” Toni menggoyang-goyangkan tubuhku, membuat mimpi indahku buyar seketika. Kutepis tangannya yang terus saja memaksaku untuk bangun. Padahal ini masih tengah malam. Belum waktunya untuk mengakhiri tidur.
            “Rian, bangun! Ratna, Ian! Ratna!” Kudengar nama Ratna disebut membuatku langsung membelalakan mata. Ratna, ada apa dengan hujanku.
            “Ratna kenapa, Ton?” tanyaku khawatir.
            Toni menarik tanganku. “Kita ke kamar Ratna sekarang! Sofia udah nunggu di luar.”
            Aku menuruti saja ke mana Toni membawaku. Aku kalang kabut. Yang kupikirkan hanya Ratna. Khawatir dengan sang hujan yang telah berhasil membiaskanku itu. Kami mengendap-endap memasuki asrama putri. Memang hal itu sangat dilarang, namun apa boleh buat, yang terpenting saat ini hanyalah Ratna. Setelah memastikan bahwa keadaan aman tanpa sepengetahuan siapapun, aku langsung berlari menuju kamar Ratna.
            Kulihat wajah pucatnya dan deraian air mata yang menyebabkan mata indahnya menjadi sembab. Ratna terlihat kesulitan untuk bernapas.
            “Kak Rian,” panggilnya setelah mengetahui keberadaanku.
            Aku langsung menghampirinya. Tiba-tiba saja napasnya kembali normal. Namun kini napasku yang tak karuan, melihat wajahnya yang pucat memang tak memudarkan kecantikan alaminya, namun ia terlihat lemah. Hujan yang selama ini menyegarkanku, hujan yang terlihat kuat, kini terkulai lemah.
            Ratna menggenggam tanganku, seraya terus saja memanggil namaku, “Kak Rian,” serunya sambil sesegukkan.
            “Ratna kamu kenapa? Kamu sakit apa? Kenapa tiba-tiba begini?” tanyaku khawatir.
            Ia kembali tersedu-sedu. Kini tak dapat mengatur napasnya kembali. Aku segera memberinya segelas air putih di atas meja di samping tempat tidurnya.
            Setelah memastikan bahwa keadaannya sudah membaik, aku kembali menanyakan hal yang sama, “Ratna kenapa? Jelasin sama kakak.”
            Ratna menghembuskan napas perlahan, terlihat mengumpulkan tenaga untuk sekadar menjelaskan inti permasalahan yang membuatnya seperti ini.
            “Orang tua kita tidak merestui hubungan kita, Kak.”
            Sejak hari itu, aku merasa kembali menjadi pelangi yang tak berwarna. Pelangi abu-abu. Pelangi tanpa warna. Ternyata selama ini langit tak mengizinkan kami untuk bersatu. Mungkin benar yang dikatakan alam, bahwa sampai kapanpun hujan dan pelangi takkan pernah bisa bersatu di sebuah langit yang sama, karena pelangi hadir ketika hujan pergi. Di Bumi ini, tidak ada hujan yang dibarengi pelangi. Pelangi hanya muncul ketika hujan telah pergi, ketiga gerimis datang dan mengusir hujan. Mungkin aku dan Ratna tak bisa bersatu. Namun bagaimana jika aku membuat sejarah baru, bahwa di sebuah langit yang dinaungi cinta, ada guyuran hujan yang dihiasi pelangi.
***
            Setelah malam itu, setelah malam yang tak pernah kukehendaki untuk datang, aku tetap mencintai Ratna. Bahkan lebih mencintainya dari sebelumnya. Segala rasa takut kehilangan, bersarang di jiwaku. Ya, aku takut kehilangannya. Aku teramat takut kehilangan hujan yang selama ini membiaskanku.
            Namun malam ini, dengan melupakan segala masalah yang ada, aku mengajak Ratna bertemu. Hanya berdua. Kali ini tanpa bantuan Toni maupun Sofia.
            “Kak, aku minta maaf, Kak.” Tak kuhitung sudah berapa kali ia mengucap maaf.
            “Iya, Ratna, bukan kamu yang salah. Mungkin memang sudah takdirnya begini.”
            Sebutir air mata kembali mengalir membasahi pipinya, aku langsung menghapusnya, tak membiarkan wajahnya melukiskan kesedihan.
            “Ratna masih sayang sama kakak. Tapi kita udah nggak bisa sama-sama lagi. Ratna minta maaf.”
            Mendengar kalimat itu membuat dadaku terasa sesak. Rasanya tidak ada yang paling menyakitkan di dunia ini selain menerima kenyataan bahwa cinta kami tidak direstui.
            Kami menghabiskan malam itu dengan menangis bersama, tertawa bersama, tersenyum bersama di bawah langit temaram dengan jutaan bintang yang menghiasi bulan. Aku sangat iri dengan bulan. Yang setiap malam dikelilingi bintang yang berkerlap-kerlip. Seandainya aku bisa seperti bulan, tak mengapa bagiku hanya disinari satu bintang saja, yaitu Ratna.
            Malam itu, hanya untuk malam itu saja. Aku dapat merasakan kembali bahwa Ratna masih milikku. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tak kupedulikan seberapa sembab mataku, seberapa banyak celotehan yang kudapat jikalau nanti ada yang melihat mataku yang sembab ini. Bahkan aku dan Ratna tak nampak was-was ketika salah satu ustadz kami di Pondok Pesanteren melewati kami. Namun untung saja ia tak melihat keberadaanku dan Ratna.
***
            Ternyata langit benar-benar mengambil tindakan. Ia menyeret sang hujan menjauhi pelangi, seakan tak bersedia jika guyurannya membiaskan pelangi. Maka pelangi hanya mampu berdiri sendiri di langit mendung, tanpa hujan yang membiaskannya seperti dahulu. Sungguh akhir dari musim hujan yang sangat menyedihkan. Pelangi kembali abu-abu.
            Hari ini aku mendapat kabar mengenai kepindahan Ratna. Tak kusangka ternyata orang tuanya benar-benar tak menyetujui hubungan kami. Padahal aku belum mengucapkan selamat tinggal kepada Ratna. Sebelum hari ini, memang Ratna sudah menyatakan untuk mengakhiri hubungan dengan jutaan kata maaf yang ia lontarkan. Aku menerima saja walau sebenarnya tidak ikhlas sama sekali. Namun, apa boleh buat.
            Setelah kepindahan Ratna, aku kembali dirundung sepi. Tak ada niatan untuk mencari seseorang yang baru yang dapat menggantikan posisi Ratna. Karena selamanya, pelangi akan mencintai hujan. Meski nantintya harus menelan kekecewaan jikalau suatu hari nanti melihat hujan menari di langit yang tertutupi awan bersama mendung.
            Sejak saat itu, aku berusaha menjadi aku yang dulu. Yang hanya terfokus dengan tumpukan buku pelajaran yang sebagian besar dibenci siswa lainnya. Aku melampiaskan kegalauan yang menyerang dengan belajar seharian. Ya, memang semestinya begitu. Daripada terus-terusan mengharapkan apa yang seharusnya tidak diharapkan. Walau sebenarnya hati berkata lain. Hati masih mengharapkan Ratna, namun kenyataan menentang itu semua.
            Suatu hari ketika kerinduanku terhadap Ratna memuncak, aku mencoba menemuinya di kediamannya. Namun, nihil, satu jam aku berdiri mondar-mandir tak karuan di depan gerbangnya, satu jam pula harus kutelan kekecewaan. Ratna tak kunjung keluar. Bahkan sekadar wajahnya pun tak terlihat. Aku sungguh merindukannya.
***
            Jauh hari setelah itu, setelah kelulusanku, aku memutuskan untuk merantau ke desa seberang. Sekaligus untuk menghilangkan bayang-bayang Ratna yang masih memenuhi kalbuku.
            Beberapa bulan di sana, pelangi bertemu matahari. Matahari yang ternyata selama ini ikut andil membiaskan pelangi. Sayang, selama ini pelangi tak tahu bahwa sebenarnya bukan hanya hujan yang ia butuhkan agar mampu terbias sempurna. Namun juga membutuhkan percikan sinar matahari untuk menyempurnakan ketujuh warnanya.
            Dialah Sofia, teman Ratna. Dia adalah matahari yang selama ini menyinariku tanpa sepengetahuanku. Akhirnya kuputuskan untuk menyerah dengan hubunganku dengan Ratna. Walau dahulu aku berharap kisahku dengan Ratna bisa seperti Kisah Romeo dan Juliet yang ditulis Shakespeare dalam drama tragedinya. Namun harus kuyakinkan bahwa kami bukan Romeo dan Juliet yang rela mati demi bisa bersama.

            Aku akan kembali menjadi pelangi di musim panas yang telah mendapatkan matahari yang menyinariku. Tak mengapa jika warna-warnaku redup lantaran tak terkena percikan hujan. Karena mulai saat ini, aku akan menjadi pelangi di musim panas yang berdiri tegak disinari kasih tulus matahari.
***

Based on true story of my tutor
Mr. Rian, this is for you!
Thank you for the idea, so I can finished to wrote your story. I hope you like it!
And, I hope you find the girl who better than your ex ^^
Fighting and keep spirit to finish your study!