Minggu, 22 November 2015

REFRACTION #4 — Virus Merah Jambu

REGEN P.O.V

***
            “Nama lengkapnya Pelangi Prameswari. Dia lahir tanggal 17 Agustus. Anaknya pendiam gitu tapi bisa jadi cerewet kalo udah kumpul bareng temen-temennya. Dia juga agak jutek sih, tapi baik kok,” jelas Riko. “Ah iya, dia tinggal di Villa Raflesia nomor 7. Rumahnya yang cat hijau toska. Gerbangnya warna hitam. Nah, ruangan yang di lantai dua yang menghadap ke barat kan ada tiga ruangan, kamarnya si Pelangi yang gordennya warna biru safir,” sambungnya.
            Kini kami berada di sudut kantin. Lebih tepatnya, dia bangku nomor dua puluh satu—bangku paling pojok.
            Aku menganga heran, mendengar Riko yang menjabarkan tentang rumah dan letak kamar Pelangi dengan begitu detail.
            “Lo pembantunya apa tukang kebunnya, sih? Kok sampe hapal gitu letak kamar orang segala!”
            Riko mendekatkan bibirnya ke telingaku. Aku sempat bergidik ngeri. Kemudian ia membisikan sesuatu, “Gue pernah suka sama dia,” katanya dan berhasil membuatku terdiam sejenak.
            Riko menepuk pundakku. “Tenang aja, bro! Itu dulu, sebelum cinta gue ditolak mentah-mentah.”
            Aku membekap mulut, tak tahan menembakkan tawa. Namun aku segera menahannya sekuat mungkin agar tawaku tidak meledak. Aku harus menjaga perasaan Riko.
            “Kok bisa?” tanyaku polos.
            Riko mengembuskan napas. “Hatinya udah terkunci, sih. Bahkan kuncinya hilang. Kalau ada yang berhasil nemuin tu kunci, baru deh hatinya bisa kebuka untuk si penemu kunci itu,” kata Riko. Ia kembali menatapku dengan seulas senyum. “Tapi sekarang gue udah move-on, dong! Bukan Riko namanya kalau hanya menyerah dengan satu perempuan!” katanya lagi sambil mengeluarkan tawa percaya dirinya yang sengaja dibuat-buat se-cool mungkin.
            Aku mencerna kata-kata Riko. Namun aku sulit mencernanya. Mencerna maksud dari; hatinya sudah terkunci dan kuncinya hilang?
            Riko kembali menyantap bakso di depannya dengan lahap. Sedangkan aku hanya menatap lurus seorang gadis yang sedang menyeruput jus jeruk di hadapannya. Ia bercerita sambil sesekali memakan nasi gorengnya. Meski aku tak tahu apa yang sedang ia bicarakan dengan dua orang temannya, aku dapat melihat dari ekspresinya bahwa mereka sedang membahas sesuatu yang lucu—tersenyum dan tertawa seperti sedang menonton acara komedi.
            “Nah kalo yang dua orang itu sahabatnya Pelangi. Yang cewek itu namanya Gista, rumahnya di depan rumah Pelangi, mereka udah sahabatan sejak baru lahir. Kalau yang cowok itu sepupunya Pelangi, namanya Kelvin. Si Kelvin itu sepupunya Pelangi dari luar kota. Baru aja pindah ke sini sejak lulus SMP. Nah, mereka bertiga ini deket banget. Saking deketnya, ke mana-mana pasti bareng-bareng,” jelas Riko lagi.
             Aku tak terlalu memerdulikan penjelasan Riko barusan. Aku masih mencoba mencerna kata-kata Riko sebelum ini mengenai hati Pelangi yang sudah terkunci.
            Tiba-tiba saja Riko menatapku serius. “Eh, Reg, ngomong-ngomong ... lo suka sama Pelangi, ya?” tanya Riko serius. Sangat serius, sehingga tak dapat kupercaya yang baru saja bertanya ini adalah Riko—anak laki-laki bandel yang tidak pernah bisa berbicara serius.
            “Entahlah,” jawabku dengan tetap fokus menatapnya dari posisiku sekarang.               
            “Alaaah, itu mah udah jelas suka namanya!” tegas Riko.
            “Kagak tau deh, Ko!”
            Riko mengangkat mangkuk baksonya, kemudian menyeruput sisa kuahnya dengan bakso, mie, dan sayur yang sudah tak tersisa. Kemudian ia melirik mangkuk baksoku yang masih padat dengan bakso dan segala isinya.
            “Reg, kasian tu bakso lo dianggurin mulu! Gue maklum kok, kalau seseorang sedang terserang virus merah jambu, maka ia akan tak nafsu untuk berlaku apapun. Termasuk makan,” katanya sok bijak.
            “Dasar modus lo! Kalo mau minta bakso, ya terang-terangan aja mintanya nggak pake kode-kodean!”
            “Kan biar kekinian, Reg. Pake kode-kodean gitu,” ucap Riko.
            Langsung saja kusodorkan mangkuk baksoku padanya. Tak perlu menunggu lama dan menjaga image, Riko langsung menyantap, satu demi satu; helai demi helai; dan mili liter demi mili liter, semangkuk mantan baksoku beserta isinya.
            “Ko, lo nggak dikasi makan berapa tahun sih sama orang tua lo sampe segitunya banget?” tanyaku takjub melihat Riko yang melahap rakus semangkuk bakso tersebut seperti kuli yang baru saja bekerja berjam-jam.
            Riko, yang tak memerdulikan ucapanku tadi, hanya terfokus pada semangkuk bakso tersebut. Dan aku kembali melirik Pelangi di ujung sana. Ia masih bercanda tawa dengan kedua sahabatnya—Gista dan Kelvin—dengan tawa yang masih saja sesekali meledak di antara mereka bertiga. Kulihat tawanya seakan tanpa beban, kecantikannya semakin terpancar.
            Aku melirik kembali Riko di sampingku. Tiba-tiba saja ia meminum rakus es tehnya sambil menelan paksa bakso yang sedang dikunyahnya. “Itu orangnya!” pekiknya dengan suara rendah.
            Aku menatap Riko penuh tanya. “Orangnya? Siapa?”
            Riko kembali menunjuk seorang anak laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit hitam manis yang sedang memegangi basket sambil sesekali menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Baju olahraganya sudah basah terkena peluh. Namun hal tersebut tidak mengurangi kekaguman siswa perempuan yang ada di kantin. Hal itu terlihat jelas dari cara mereka memandanginya dan berbisik-bisik tentangnya. Sepertinya anak laki-laki itu cukup populer di sekolah ini.
            “Dia Fajar,” kata Riko sambil menunjuk anak laki-laki itu yang baru saja menduduki bangku nomor tigabelas. “Dia cowok terpopuler di sekolah ini. Ketua OSIS sekaligus kapten basket sekolah ini.”
            “Lalu?” Aku menunggu penjelasan dari Riko mengenai dirinya yang heboh menyambut kehadiran si Fajar tersebut.
            “Dia itu ... cowok yang telah menggembok hati Pelangi!”
            JLEBB!
            Cowok yang telah menggembok hati Pelangi?
            Aku mulai dapat mencerna kata-kata Riko yang belum dapat kucerna tadi. Kini, kuketahui mengenai hati Pelangi yang sudah terkunci dan mengenai kuncinya yang telah hilang. Ternyata si Fajar-lah orang telah menggemboknya dan membuang begitu saja kuncinya agar tak ada yang dapat memasuki hati Pelangi.
            Dan entah karena apa, aku merasa iri dengan anak laki-laki itu. Bukan karena ia adalah cowok terpopuler dan dikagumi banyak perempuan. Tapi karena salah satu pengagumnya itu adalah Pelangiku—Meine Regenbogen.
            Aku tak dapat membohongi diriku sendiri bahwa aku memang cemburu. Pun tak dapat lagi mengelak kata-kata Riko mengenai aku yang tengah terserang virus merah jambu.

*** [BERSAMBUNG] ***