Jumat, 20 November 2015

REFRACTION #3 — Gadis Pecinta Hujan


REGEN P.O.V

Aku duduk tepat di belakang posisinya berdiri. Aku memerhatikannya dari posisiku sekarang. Ia yang merasa diperhatikan menjadi salah tingkah. Hal itu terlihat jelas dari gerak tubuhnya; menatap tali sepatu yang sejatinya tak mampu bergerak sendiri, memukul-mukul lantai dengan ujung kaki yang dilapisi sepatu, dan sesekali mengembuskan napas. Tingkah lakunya sekarang sangat jauh berbeda dari saat sebelum aku menuju halte ini. Mungkin ia risih, pikirku. Atau ia adalah gadis pemalu yang tidak mudah bergaul dengan orang yang baru dikenal. Intinya, aku mulai dapat membaca sedikit demi sedikit karakternya.
Tiba-tiba saja sebuah ide mampir ke otakku. Aku menghampirinya dan berdiri di sampingnya. Ingin membuktikan bahwa argumenku benar; aku menatapnya dalam diam. Aku tahu kalau ia menyadari keberadaanku di sampingnya, namun kembali ke opiniku sebelumnya—bahwa ia adalah gadis pemalu yang tidak mudah bergaul dengan orang baru—ia pura-pura tidak mengetahuinya. Bahkan ia tak menoleh ke arahku barang 30 derajat pun.
Aku mengulurkan tangan ke arahnya. “Aku Regen.”
            Gadis itu menoleh sambil menampilkan wajah bingungnya yang menurutku sangat lucu. Ia menatap tanganku yang sudah kuulurkan ke arahnya. Tanpa kusangka, ia membalas uluran tanganku. “Aku Pelangi,” jawabnya kemudian langsung melepaskan tangan lembutnya dari genggamanku.
            DEG!
            Pelangi ...
Aku menatapnya tepat di kedua bola matanya. Aku menyunggingkan senyum ke arahnya. Senyum tertulus yang pernah tercipta di wajahku.
Pelangi ...
Nama itu mengingatkanku pada dongeng masa lalu yang selalu diceritakan mama kepadaku sebelum tidur. Dongeng yang selalu kuharapkan kebenarannya. Dongeng masa lalu yang berusaha kuwujudkan.
“Meine Regenbogen,” ucapku spontan. Kata-kata itu mengalir begitu saja.
Aku tiba-tiba saja berucap begitu kepadanya. Kusadarkan diriku secepatnya dari bayang-bayang dongeng masa lalu itu.
“Meine Regenbogen? Artinya?” tanyanya bingung.
Pelangiku, ucapku dalam hati.
“Mmm, aku cuma ...” Belum sempat kujawab pertanyaannya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan kami. Sang empunya—seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahun—membuka kaca mobil.
“Pelangi,” panggilnya.
Dari ukiran wajah wanita itu, dapat kutebak bahwa ia adalah ibu Pelangi. Ibu Pelangi keluar dari mobil sambil berlindung di bawah payung. Pelangi menyambutnya dengan senyuman.
“Paman Rinto mana, Ma? Tumben Mama yang jemput aku,” tanya Pelangi.
“Paman Rinto lagi benerin atap garasi yang bocor, jadi nggak bisa jemput,” terang mama Pelangi. Aku hanya menyaksikan ibu dan anak tersebut. Menyadari keberadaanku, mama Pelangi menyunggingkan senyum ke arahku. Senyum yang sama persis dari senyuman milik Pelangi. Kini aku tahu dari mana senyuman tersebut menurun.
“Adik ini temannya Pelangi, ya,” tanya mama Pelangi kepadaku.
Aku membalasnya dengan senyuman. “Iya, Tante. Saya Regen,” kataku memperkenalkan diri.
“Rumah kamu di mana? Mau sekalian Tante anterin?” tawarnya.
Aku melirik Pelangi sekilas. Ia hanya mengedikkan bahu, memberi tanda bahwa jawabannya diserahkan padaku.
“Nggak usah repot-repot, Tante. Jemputan saya sebentar lagi datang, kok,” elakku. Sebenarnya aku ingin. Sangat-sangat ingin berada lebih lama bersama Pelangi. Namun aku hanya merasa tidak enak saja. Aku dan Pelangi saja baru bertemu dua kali.
“Ya sudah kalau begitu. Tante dan Pelangi duluan, ya.”
Sebelum benar-benar meninggalkanku, aku melihat Pelangi menyunggingkan seulas senyuman. Senyuman tertulus darinya yang pernah kudapatkan.
Seketika, kurasa hujan semakin menusuk kulitku. Aku membeku. Senyuman itu seolah memiliki sihir yang dapat membekukanku dalam sekejap.
Entah inikah namanya cinta pada pandangan pertama. Namun aku belum berani menyimpulkannya.

***
            Sudah tengah malam, namun aku masih memikirkan Gadis Pecinta Hujan itu. Dia begitu mirip dengan gadis dalam dongeng yang pernah diceritakan ibu kepadaku. Sangat amat mirip. Bahkan caranya menikmati dentuman melodi hujan siang tadi. Juga caranya merasakan tetes demi tetes hujan yang turun.
            PLAK!
            “Aww ...”
            “Kamu pikir untuk siapa aku bekerja hingga larut malam seperti ini kalau bukan untuk kamu dan Regen!”
            “Kamu bilang bekerja? Bekerja apanya hingga larut begini? Bekerja untuk merayu pelac*r itu?”
            PLAKK!
            Lagi-lagi kudengar noktuno yang selalu mengusik pendengaranku. Pertengkaran kedua orang tuaku. Tak terasa air mata kepedihan itu kembali menetes di pipiku. Aku benci menangis. Namun, tak ada cara lain yang bisa kuperbuat selain itu.
            Segera kuputar musik rock di ponselku sekeras mungkin. Kemudian kutempelkan headphone putihku setepat mungkin di telingaku. Berharap nyanyian malam itu tak terdengar lagi dengan cara begini.
            Nokturno. Nyanyian malam yang selalu kudengar hampir setiap hari. Pertengkaran orang tuaku yang entah kapan berakhirnya. Aku sudah terbiasa dengan ini sejak satu setengah tahun yang lalu. Dan aku harus tetap terbiasa.
***
            “Siswa Baru, nyontek PR dong!”
            Riko tiba-tiba melepas headphone yang melingkar di telingaku. Aku menatapnya dengan tatapan tidak suka. “Ko, gue udah satu minggu di sekolah ini dan lo belum hapal juga nama gue?”
            “Oke. Gue ulangin,” katanya. “Regen, gue boleh nyontek PR kimia lo, kan?” ulangnya. Kali ini dengan menyebut nama asliku.
            Aku membuka tasku dan mengeluarkan buku catatan berwarna biru tua, kemudian memberikannya pada Riko. Riko yang notabene teman sebangkuku lantas duduk di sampingku dan cepat-cepat menyalin jawaban tersebut ke atas kertas kosong di hadapannya sebelum guru kimia datang.
            Riko adalah orang pertama yang kukenal di sekolah ini. Dia siswa yang dikenal bandel dan tidak taat aturan di sekolah ini. Sebelumnya, ia hanya duduk seorang diri di kelas lantaran teman sebangkunya pindah beberapa bulan lalu. Ia bilang, bahwa ia bersyukur dengan kepindahanku ke sekolah ini karena ia menjadi memiliki teman duduk untuk diconteki PR dan ulangan.
            “Eh, lo sesibuk apa sih, sampe nggak ada waktu buat ngerjain PR?” tanyaku.
            “Ah, lo kayak nggak tau gue aja! Mending main PS lah daripada ngerjain PR,” jawabnya sambil tetap fokus menyalin jawaban kimia tersebut.
            “Emang lo nggak takut dapet nilai jelek?”
            “Gue udah kebal, kali. Dari SD juga nilai gue gitu-gitu aja.”
            Aku hanya mengangguk-anggukan kepala kemudian kembali memasang headphone-ku dan memutar kembali lagu yang belum sempat selesai kudengerkan ketika Riko melepas paksa headphone-ku.
            “Baby you light up my world like nobody else. The way that you flip your hair gets me overwhelmed. But when you smile at the ground it ain't hard to tell. You don’t know, oh-oh. You don’t know you’re beautiful.”
            Lirik lagu One Direction yang berjudul What Makes You Beautiful itu tiba-tiba saja mengingatkanku pada Gadis Pecinta Hujan itu.
            Cepat-cepat kulepas headphone-ku dan menatap Riko penuh harap. “Bro, lo mau bantuin gue nggak?” tanyaku pada Riko yang sudah menyalin sebagian besar jawaban kimia tersebut. Ia memang memiliki kemampuan untuk menulis cepat.
            Riko menatapku tak percaya. “Apa yang seorang Riko bisa bantu?” tanyanya.
            “Tapi lo mau apa nggak ni?” tanyaku memastikan.
            “Ekhem. Mau-mau aja sih. Asalkan ...” Riko menggantung ucapannya.
            “Gue bakal kasih contekan PR dan ulangan kapanpun lo mau,” tawarku.
            Riko terlihat belum puas. “Itu doang?”
            “Ya elah. Pelit banget sih sama temen sendiri. Ya udah, abis ini gue traktir makan deh di kantin.”
            Riko tersenyum puas. “Lo tau aja gue lagi laper. Jadi, apa yang bisa gue bantu?”
            Aku tersenyum penuh misteri. “Bantu gue cari tau tentang seseorang.”



*** [BERSAMBBUNG] ***