Senin, 16 November 2015

REFRACTION #1 — Lelaki Hujan

            

Aku menguam sambil menggeliat mengangkat kedua lengan. Hujan sore ini terasa menyejukkan. Suara rintiknya bak melodi penghantar tidur yang menuntunku memimpikan Matahariku sepanjang tidur tadi. Sialnya tetesan hujan yang melewati atap yang bocor seakan memaksaku untuk bangun.
            Aku mengusap wajahku yang basah terkena tetesan air hujan tersebut. Lama-kelamaan bulir hujan yang jatuh semakin besar. Aku menatap dari jendela, hujan semakin deras. Ruangan ini semakin menjadi becek, maka aku segera berpindah dari posisi tadi ke sisi ruangan yang atapnya tidak bocor.
            “Awww!” jeritku bersamaan dengan pantatku yang mendarat kasar di lantai. Sial, genangan air hujan yang tumpah ke lantai itu membuatku terpeleset. Di saat-saat seperti inilah aku tega mengumpati hujan yang selama ini kupuja-puja.
            “Kamu nggak apa-apa, kan?” Seseorang mengulurkan tangannya ke arahku.
            DEG!
            Bagaikan petir yang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang, petir itu mendarat ke jantungku. Menyambarnya dan menyetrum hebat tubuhku. Entah ini mimpi atau kenyataan, namun aku ingin waktu berhenti sejenak. Jika sudah begini, aku tak lagi mengumpati tetesan hujan yang telah membangunkanku dan merusak mimpiku dengan Sang Matahari, karena kini sosok nyatanya berada di hadapanku.
            Langsung kusambut uluran tangannya yang berusaha membantuku untuk berdiri. Aku dapat merasakan tangan lembutnya menggenggam tanganku yang sudah mati rasa. Kurasakan pantatku tak lagi nyeri. Namun, seiring dengan itu, jantungku melompat-lompat semakin menjadi-jadi.
            “Kamu nggak apa-apa, kan?” Ia kembali menanyakan pertanyaan yang belum sempat kujawab tadi. Ah, entahlah apakah aku terlihat salah tingkah atau tidak, yang jelas aku tak dapat mengontrol diriku kali ini.
            “Iya, aku nggak apa-apa.” Tentu saja aku tidak apa-apa. Bahkan aku rela terpeleset ratusan kali hanya untuk dapat menggenggam tangannya ratusan kali pula.
            “Kamu kok masih di sekolah?” tanyanya. Ia melirik jam tangan. “Ini udah jam lima sore, lho.”
            Ya Tuhan, aku baru ingat. Aku tertidur di perpustakaan sejak jam pulang sekolah. Ah, betapa malunya aku mengakuinya di depan dia kalau sepulang sekolah tadi sebenarnya aku berniat menyelesaikan tugas yang tak mungkin kuselesaikan nanti malam karena akan memata-matai ‘dia’ berkencan dengan teman dekatnya, alih-alih menyelesaikan tugas, aku malah tertidur di sini. Aku tidak mungkin mengakuinya, itu memalukan.
            “Aku ... aku tadi ngerjain tugas biologi. Kamu tau sendiri ‘kan, Bu Mega kalau ngasih tugas itu kayak gimana.” Aku mencerna kembali kata-kataku. Ah, aku bilang apa tadi? Mengerjakan tugas Biologi?
            Ia melirik tumpukan buku di lantai yang tadi jatuh bersamaku ketika terpeleset. “Bukannya itu buku cetak fisika, ya?”
            Aku mengumpati diriku dalam hati. “Ah, itu .. iya, kan sekalian belajar fisika. Hehee.”
            Sial, bagaimana mungkin aku bertingkah seaneh ini di depan dia.
            “Oh, iya sudah kalau begitu. Maaf ya aku nggak bisa mengantar kamu pulang. Aku masih harus kumpul OSIS di sekolah,” katanya sambil meraih ember yang tadi dibawanya untuk menampung tetesan hujan yang menetes dari atap yang bocor tersebut.
            Aku tidak memaafkanmu. Padahal aku sudah membayangkan bagaimana romantisnya jika dia benar-benar mengantarkanku pulang hujan-hujan begini.
            Ah, apa yang sedang kupikirkan. Segera kutepis khayalan konyol itu ketika mengingat bahwa ia kini sudah jauh pergi. Pundaknya sudah tak terjamah lagi. Ia sudah pergi. Benar-benar sudah pergi. Walaupun jarak kami dekat namun rasanya bagaikan hanya bayangnya saja yang selama ini melewatiku. Sosok nyatanya seakan benar-benar pergi. Dan, aku harus bersiap menjadi penguntit malam ini.
***
            Hujan masih saja menghiasi langit ketika aku sudah satu jam berdiri di sini. Tak ku sia-siakan kesempatan itu. Kuulurkan tanganku, mencoba menggapai-gapai tetes demi tetes hujan sore ini.
            Tak kurasakan dingin yang menelusup merasuki pori-pori kulitku ketika seragamku sudah basah kuyup begini. Hatiku sudah cukup panas untuk membuat rasa dingin itu hilang. Sangat-sangat panas hingga kupastikan jika api yang menyala-nyala dalam hatiku dapat diukur, itu akan dapat mendidihkan air dalam waktu kurang dari satu menit.
            Satu jam yang lalu, hanya selang lima menit setelah insiden aku yang terpeleset dan dapat menggenggam tangan Sang Matahari, aku menyaksikannya. Ya, buat apa dia rela menunggu sampai sore di sekolah tanpa alasan. Dan ‘alasan’ itu membuat bara api di hatiku menyala-nyala.
            Hujan semakin deras, dan tidak sedikitpun aku berniat untuk menyetop taksi dan pulang. Halte ini terasa cukup menenangkan di kala hujan. Terbersit angan-angan di hati, andai saja aku memiliki Sang Hujan yang bersedia membiaskanku, hingga warna-warnaku terbias sempurna. Sayangnya, Matahari pun enggan menyinari.
            “Mau sampai kapan kamu berdiri di sana?” Di sela-sela rinaian hujan, kudengar samar-samar suara seseorang mengajukan pertanyaan yang entah ditujukan kepada siapa. Tak kugubris pertanyaan itu karena berpikir bukan aku yang diajukan pertanyaan.
            “Kalau mau main hujan jangan setengah-setengah, dong!” seru seseorang dengan suara yang sama.
            Aku melirik ke arahnya. Pria bermata hazel yang sedang mengalungkan earphone itu tersenyum ke arahku. Sedetik kemudian dimasukkannya earphone tersebut ke dalam tas merah maroon di sampingnya.
            Lagi-lagi ia tersenyum ke arahku. Entah apa motif di balik senyuman itu, namun setelah itu ia menarik tanganku dan membawaku berlari melewati tirai-tirai hujan. Aku tak bisa menolak, karena memang aku sudah rindu sentuhan hujan yang tak pernah kurasakan satu tahun terakhir.

*** [BERSAMBUNG] ***