Gunung yang kini telah kehilangan sepertiga tubuhnya itu
menyundul langit biru Sumbawa. Kawah raksasa berdiameter tujuh kilometer dengan
kedalaman satu kilometer itu menjadi bukti kedahsyatan letusannya dua abad
silam. Di tengahnya berdirilah si anak gunung, Doro Afi To’l.
Tambora. Fenomena alam yang menggemparkan dunia.
Dinding kaldera—kawah raksasa—yang berlapis-lapis bak relief yang dipahat alami
oleh alam menyisakan kenangan yang tak pernah terlupakan. Menyusuri dasar
kaldera itu bagaikan menelusup menuju lapis demi lapis fenomena menakjubkan dua
abad silam. Mendekapkan tubuh dan bermalam dalam hangatnya rahim Tambora itu
bagaikan raga ini bak butiran pasir yang begitu kecil dalam cawan raksasa. Di
sinilah berjuta kisah dunia dua abad silam terpendam. Terkubur bersama kisahku tiga
tahun lalu.
***
“Hei, Bima
si Raja Kodok!”
“Ah, bikin
kaget aja!” Anak laki-laki berambut spike
itu mengelus dada sambil memasang wajah kesal, karena kaget mendengar
teriakanku secara tiba-tiba itu.
“Maaf,”
kataku menyesal. “Kamu kok kelihatan badmood
hari ini?” Aku mengamati wajahnya yang kurang bersemangat. Tumben sekali Bima
terlihat murung.
“Mmm. Put, kamu mau nggak, mmm. Anu. Itu. Ehmm,” Bima
garuk-garuk kepala, seperti kesulitan merangkai kalimat yang akan diucapkannya.
Bima
menghembuskan napas sambil memejamkan mata. “Kamu mau nggak ke Tambora bareng
aku?” Bima mengucapkannya sambil menutup mata, sedetik kemudian ia membuka mata
sambil menunduk. Terlihat setetes keringat mengalir di pelipisnya.
Awalnya aku menolak ajakannya, namun setelah Bima
menjelaskan bahwa kami akan pergi bersama tujuh orang lainnya, maka aku
meng-iya-kan. Tak ada salahnya ke luar kota bersama sahabat yang telah
menemaniku selama dua belas tahun ini. Lagi pula sebulan yang lalu kami hanya
bergelut dengan buku-buku Ujian Nasional SMA, mungkin kali ini waktu yang tepat
untuk melepas sejenak segala beban di pundak.
Satu
minggu kemudian setelah mendapat izin dari orang tua, akhirnya aku dan Bima
memulai petualangan ini bersama tujuh orang lainnya—dua orang kakak sepupu Bima
dan lima orang teman mereka. Pagi harinya kami langsung menyeberang menggunakan
Kapal Ferri dari Pelabuhan Khayangan menuju Pelabuhan Poto Tano di Sumbawa
Barat dengan memakan waktu sekitar dua setengah jam.
Sebelum
mendaki Puncak Tambora, Bima meminta untuk menuju Calabai—desa di ujung Teluk
Saleh dan kemudian menuju Pulau Satonda. Nampaknya Bima telah lama ingin
berkunjung ke Pulau Satonda yang di dalamnya terdapat danau air asin.
Aku
penasaran mengenai asinnya danau ini, lalu Bima langsung menjelaskan, “Letusan
Tambora yang dahsyat itu menimbulkan tsunami yang dahsyat pula, sehingga
diperkirakan asinnya air di danau ini karena tercampur air laut yang meluap.
Tingkat keasinannya cukup tinggi. Kamu bisa langsung muntah kalau meminum air
itu.”
Aku
menganggukkan kepala. “Pengetahuan kamu tentang sejarah memang keren, Bim.
Jangan-jangan kamu mau mendaki Tambora karena baca buku sejarah?”
Bima terdiam
sejenak. “Nanti kamu tahu kok alasan aku ke sini dan ngajak kamu ikut bareng
aku,” jawab Bima penuh misterius.
“Ah, iya,
kamu tau sejarah pulau ini?” tanya Bima. Aku menggelengkan kepala.
Bima mengubah posisi duduknya hingga kini berhadapan denganku.
“Pulau Satonda merupakan Monumen Cinta Abadi Sang Bima dengan seekor Puteri
Naga bersisik emas, lalu melahirkan Puteri Tasi Sari Naga,” jelasnya. “Aku jadi
berkhayal suatu saat nanti membuat monumen cinta untuk seorang puteri yang aku
cintai.”
Sontak aku
tertawa, “Kamu bisa jatuh cinta, Bim? Sama siapa?” tanyaku.
Bima
menatapku sambil tersenyum, “Nanti kamu tahu sendiri, kok.”
Selanjutnya
kami menuju Desa Pancasila dan Pintu Rimba. Dari sana, ada lima pos yang kami
lalui dan bermalam di sana. Di pos empat, jalurnya ditumbuhi Tumbuhan Jelatang,
tumbuhan berduri yang apabila diinjak akan terasa sakit seperti tersengat. Dan
aku tak sengaja menginjaknya. Untung saja Mbak Mita—sepupu Bima—membawa kotak
P3K dan segera mengobati kakiku. Walau begitu sakitnya masih terasa sehingga
Bima bersedia menyumbangkan punggungnya dan segera menggendongku. Sedangkan
tasku dan Bima dibawa oleh rombongan lainnya. Setelah melewati pos kelima,
perjalanan berlanjut ke tebing untuk bermalam. Dari sana Puncak Tambora terlihat
jelas. Perjalanan menuju Puncak Tambora kami lanjutkan sebelum fajar
menyingsing.
Empat puluh menit kemudian, sampailah kami di Puncak
Tambora. Sebelumnya aku bersikeras untuk menyudahi pendakian ini, entah mengapa
perasaanku menjadi tidak enak. Namun berkat Bima, aku memberanikan diri,
sehingga kini sampailah aku di Puncak Tambora. Ini adalah perjalanan paling
luar biasa yang pernah kulalui. Suhunya sangat dingin, matahari tertutup kabut
tebal, meski begitu aku tetap bersemangat.
“Bang, turun ke kaldera, yuk!” ajak Bima kepada Bang
Randi, sepupunya.
“Nunggu kabut menipis dulu, Bim,” jawabnya. Namun
Bima tak sependapat.
“Langsung aja, Bang, mumpung masih pagi.” Bima tetap
bersikeras dengan keinginannya. Aku, Bang Randi, dan yang lainnya tidak setuju.
Selain itu Bima terlihat pucat, sepertinya karena suhunya yang dingin. “Put,
kamu mau kan turun ke kaldera?”
“Nanti aja, Bim!” sahut yang lainnya.
“Abang-abang dan mbak-mbak, suhu segini itu nggak ada
apa-apanya dibandingkan di Mount
Everest. Katanya pengen mendaki Mount
Everest, tapi suhu segini aja langsung nyerah.” Akhirnya mereka menyetujuinya,
aku tak bisa menolak.
Entah mengapa ada rasa aneh yang bergejolak di
hatiku, namun segera kutepis. Bang Randi memandu jalur yang harus dilewati. Perjalanan
ke dasar kaldera diawali dengan melewati tiga tebing. Satu persatu dari kami
mulai turun. Tebing pertama berhasil kulalui. Aku, Bang Reno, dan Mbak Mita
baru saja mulai menuruni tebing kedua ketika Bang Randi dan Bima sudah mulai
menuruni tebing ketiga yang lebih curam. Baru saja kuusap keringat yang
mengalir di pelipisku ketika mendengar jeritan Bang Randi. Jantungku berdentum
kencang. Kudengar Mbak Mita dan rombongan lain meneriaki nama Bima dengan
lengkingan kencang. Aku menengok ke bawah.
“Bi... ma...” Setelah itu aku tak tahu apa yang
terjadi, kakiku lemas dan tak kuat untuk berpijak, untung saja Bang Reno dengan
sigap menopang tubuhku yang ambruk.
***
Sepuluh April, tepatnya dua abad setelah meletusnya
gunung yang dulunya merupakan puncak tertinggi kedua di Indonesia ini, berhasil
kutaklukkan untuk kedua kalinya. Dan untuk pertama kalinya aku berhasil turun
ke dasar kaldera. Kaldera yang seharusnya kubenci, karena telah merenggut nyawa
seseorang yang sangat kucintai. Namun, sekarang aku turun untuk menyapanya.
Menyapa Tambora dan ruh Bima yang telah dibawanya untuk menghilang bersamanya,
di dalam pelukan kawah raksasanya. Sekarang aku tahu alasan Bima ingin turun ke
rahim Tambora ini, Sang Bima ingin menjadikannya monumen cinta untuk Sang
Puteri. Sayang, Tambora mencemburuinya sehingga Tambora membawa ruh Bima
menghilang dalam pelukan yang abadi.
Kita coba duet di lomba yg ini yuk dik:
BalasHapushttps://www.facebook.com/groups/Nulisbuku/permalink/829217203829414/
Betemue..^_^
BalasHapus